03 Mei 2009

tabligh wal bayan

Bab II
Pembahasan
AL-TABLIGH WA AL-BAYAN

Setiap nabi dan rasul Allah berkewajiban menyampaikan kebenaran agama (risalah) yang dibawa kepada umat dan kaumnya. Tugas dan kewajiban menyampaikan kebenaran itu disebut tablig {tabligh). Secara harfiah, kata tabligh, iblagh, atau balagh, berarti al-Ishal, menyampaikan sesuatu kepada pihak lain. Balagh dapat pula berarti sesuatu (materi atau pesan) yang disampaikan juru penerang (muballigh) baik dari al-Qur'an dan al-Sunnah maupun dari dirinya sendiri.
Dalam al-Qur'an, kata tabligh dalam berbagai bentuknya diulang sebanyak 25 kali. Kata yang dibentuk dari kata kerja (ballagha) terulang 7 kali, dari ablagha sebanyak 4 kali, dan dalam bentuk mashdar {balagh), diulang sebanyak 14 kali. Menurut pakar bahasa al-Ashfahani, kata tabligh menunjuk pada kegiatan menyampaikan kebenaran (agama) secara lisan. Tabligh atau balagh memiliki akar kata yang sama dengan balaghah atau baligh yang berarti kata-kata yang sangat indah (sastra). Ini mengandung pengertian bahwa tabligh merupakan dakwah oral atau dakwah dengan kata-kata.
Menurut Quthub, tabligh berarti menyampaikan dan menyeru manusia kepada kebenaran agama, terutama kebenaran aqidah tauhid. Bagi para nabi dan rasul Allah, keharusan tablig ini, menurut Quthub, dikaitkan dengan dua kepentingan. Pertama, tabligh dilakukan untuk memberi informasi kepada manusia tentang adanya kebenaran dari Allah swt. Lalu, mereka diharap-kan menerima dan beriman kepada kebenaran yang dibawa para nabi dan rasul Allah swt itu agar mereka terbebas dari adzab Allah swt.
Kedua, tabligh dilakukan sebagai argumen (hujjah) Allah atas manusia. Dengan tablig, berarti kebenaran telah disampaikan oleh Allah swt kepada manusia melalui nabi dan rasul-Nya, sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak mengetahui kebenaran itu. Atas dasar itu, Allah swt berhak untuk memberi upah atau memberi siksa kepada orang yang menerima atau menolak kebenaran tersebut. Inilah menurut Quthub, makna tabligh sebagai argument Tuhan (hujjati) atas umat manusia.
Keharusan tablig seperti tersebut di atas terbaca dengan jelas, misalnya, dalam ayat ini:






"HaiRasul, sampaikanlah apayang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. " (Q.S. al-Ma'idah: 67).
Pembicaraan (khithab) dalam ayat ini, menurut Quthub, ditujukan kepada Nabi Muhammad saw dalam hubungannya dengan Ahli Kitab. Dalam ayat ini, Allah swt menyuruh Nabi agar melaksanakan tabligh dengan sebaik-baiknya. Dalam melakukan tablig, Nabi saw diperintahkan agar memperhatikan dua prinsip yang berkaitan dengan materi tabligh.
Prinsip pertama, bahwa kebenaran yang disajikan melalui tablig harus sempurna dan utuh, tidak sepotong-sepotong (prinsip kamilah). Prinsip kedua, bahwa kebenaran yang disampaikan melalui tabligh, terutama menyangkut aqidah, harus tegas dan jelas dalam arti distingtif, yaitu bahwa aqidah Islam itu harus dibedakan secara jelas dengan berbagai kepercayaan lain yang sesat dan menyimpang (prinsip fashilah). Dalam masalah ini, tidak dibenarkan adanya basa-basi yang dapat mengurangi distinksi aqidah Islam dengan kepercayaan lain yang sesat.
Di balik perintah tabligh dengan tegas dan jelas itu, menurut Quthub, justru terkandung makna atau hikmah. Di antaranya, dengan tabligh yang jelas dan tegas itu, kesesatan mereka (mad'u) yang selama ini tersembunyi atau disembunyikan akan terungkap. Dengan cara demikian, dapat pula diketahui kekufuran dan reaksi jahat mereka sehingga mereka layak mendapat hukuman dan balasan yang setimpal.
Bagi Quthub, tablig tidak cukup dilakukan hanya dengan lisan (bi al-lisdn) saja sebagaimana maknanya yang semula. Tabligh, sebagai usaha memperkenalkan gagasan dan konsep Islam (al-tashawwur al-Isldmi) kepada umat manusia, menurut Quthub, harus pula dilakukan dengan keteladanan (qudwat hasanah) dan dengan perbuatan nyata (bi al-'amat), sehingga Islam sebagai sitem hidup mudah dimengerti dan dipahami. Tabligh, dengan begitu, tidak bersifat retorik semata, tetapi juga bersifat aplikatif dan implementatif dari kebenaran Islam.
Dalam perspektif ini, para penyeru kebenaran itu (mubal-lighiri) haruslah orang-orang yang mula-mula memperlihatkan kebenaran itu dalam diri mereka sendiri. Dalam bahasa Quthub, mereka harus menjadi terjemah hidup yang kasat mata (tarjamat hayat waqi'ah) dari kebenaran yang disampaikan. Bahkan tabligh harus pula dilakukan (dilanjutkan) dengan perang suci (bi al-jihad) bila mendapat hambatan dan gangguan yang menghalang-halangi jalan dakwah.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa proses dakwah dalam pandangan Quthub, tidak boleh dan sama sekali tidak boleh berhenti pada proses tabligh dalam pengertiannya yang sempit. Quthub mengkritik keras pendapat yang menyatakaan dakwah identik dengan tabligh, atau dakwah hanyalah sekadar tabligh. Seperti umum diketahui, menurut pendapat ini, bila seorang telah melakukan tabligh, maka ia dipandang telah melaksanakan dakwah.
Jadi, tabligh dalam perspektif dakwah pergerakan, sebagai-mana digagas Sayyid Quthub, dipandang dan ditempatkan pada tahap awal, bukan akhir dari proses panjang kegiatan dakwah. Disamping tabligh, dakwah sebagai ikhtiar mewujudkan sistem Islam dalam semua segi kehidupan manusia, memiliki tugas dan fungsi lain, yaitu amar ma'ruf dan nahi munkar, serta jihad di jalan Allah—dari tabligh ke amar ma'rufdan nahi munkar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar