03 Mei 2009

matan hadits

MATAN HADITS

A. pengertian matan

Sebelum mendefinisikan matan, baik secara etimologis maupun terminologis, terlebih dahulu saya kemukakan sebuah hadis yang mengandung matan. Imam bukhari meriwayatkan :









Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad al-Mutsniy, katanya :
Telah meriwayatkan kepada kami Abdul Wahab al-Tsaqafiy, katanya :
Telah meriwayatkan kepada kami Ayyub dari Abi Qilabah dari Anas dari Nabi Saw., bahwa beliau bersabda : Ada tiga hal, yang bila ketiganya ada pada seseorang, maka orang itu akan merasakan manisnya iman. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada daripada keduanya. Hendaknya ia mencintai orang (lain) hanya karena Allah. Dan hendaknya ia membenci kembali kepada kekafiran sebagaimana kebenciannya bila dilemparkan kedalam neraka.
Sabda Nabi Saw : “ada tiga hal..............” itulah yang disebut matan, sedangkan rangkaian para perawi yang membawa hadis itu disebut sanad.
Matan secara etimologis berarti segala sesuatu yang keras bagian atasnya. Bentuk jamaknya adalah MUTUN dan MITAN. Matan dari segala sesuatu adalah bagian permukaan yang tampak darinya, juga bagian bumi yang tampak menonjol keras. Kalimat:



Seseorang mengikat anak panah dengan tali.
Matan secara terminologis adalah redaksi hadis yang menjadi unsur pendukung pengertiannya. Penamaan seperti itu barangkali didasarkan alasan bahwa bagian itulah yang tampak dan yang menjadi sasaran utana hadis. Jadi penamaan itu diambil dari pengertian etimologisnya. Dalam cotoh diatas, bagian yang disebut MATAN adalah:


Pada zaman Nabi tidak seluruh hadis ditulis oleh para sahabat nabi. Hadis nabi yang disampaikan oleh sahabat kepada periwayat lain lebih banyak berlangsung secara lisan.
Hadis nabi yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafal (riwayat bi al-lafz) oleh sahabat sebagai saksi pertama, hanyalah hadis yang dalam bentuk sabda. Sedang hadis yang tiak dalam bentuk sabda, hanya dimungkinkan dapat diriwayatkan secara makna (riwayat bi al-ma’na).
Hadis dalam bentuk sabda pun sangat sulit seluruhnya diriwayatkan secara lafal, terkecuali untuk sabda-sabda tertentu. Kesulitan periwayatan secara lafal bukan hanya disebabkan karena tidak mungkin seluruh sabda itu dihafal secara harfiah, melainkan juga karena kemampuan hafalan itu dan tingkat kecerdasan sahabat nabi tidak sama. Ada beberapa kondisi tertentu yang memberi peluang sehingga sahabat dapat menghafal dan meriwayatkan sabda nabi secara harfiah. Diantara kondisi itu ialah :

1. Nabi dikenal fasih dalam berbicara dan isi pembicaraanya berbobot. Nabi berusaha menyesuaikan sabdanya dengan bahasa (dialek), kemampuan intelektual dan latar belakang budaya audience-nya.

2. untuk sabda-sabda tertentu, Nabi menyampaikannya dengan di ulang tiga atau dua kali. Denga demikian, para sahabat akan mudah menghafal dan menyampaikan sabda itu kepada yang tidak hadir.

3. tidak sedikit sabda Nabi yang disampaikan dalam bentuk jawami’ al-kalim, yakni ungkapan pendek tettapi sarat makna.

4. diantara sabda Nabi ada yang disampaikan dalam bentuk do’a, zikir dan bacaan tertentu dalam ibadah. Sabda-sabda itu bahkan ada yang disampaikan setiap hari.

5. orang arab sejak dahulu sampai sekarang dikenal sangat kuat hafalannya.

6. kalangan sahabat Nabi ada yang telah dikenal dengan sungguh-sungguh berusaha menghafal hadis Nabi secara lafal.

Adapun hadis yang tidak berupa sabda, periwayatan yang dilakukan oleh sahabat sebagai saksi mata berlansung secara makna (riwayat bi al-ma’na). Karena hadis yang non-sabda, ketika dinyatakan oleh sahabat, rumusan kalimatnya berasal dari sahabat sendiri. Para ulama’ mempersoalkan boleh tidaknya selain sahabat Nabi meriwayatkan hadis secara makna. Abubakar Al-Arabiy berpendapat, selain sahabat nabi tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna. Menurutnya, sahabat Nabi di perbolehkan meriwayatkan hadis secara makna karena mereka :

1. memilik pengetahuan bahasa arab yang tinggi (al-fashahah wa al-balaghah).

2. menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan Nabi.

Ulama’ lainnya yang juga dikenal sangat ketat berpegang pada periwayatan secara lafal ialah : Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, Sa’lab bin Nahwiy dan Abu Bakar al-Raziy. Tapi kebanyakan para ulama’ hadis membolehkan periwayatan secara makna dengan beberapa ketentuan . Ketentuan itu cukup beragam, walaupun demikian, ada beberapa ketentuan yang disepakati antaralain :

1. yang bleh meriwayatkan hadis secara makna hanyalah mereka yang benar-benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam. Dengan demikian, periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan, misalnya mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.

2. periwayatan dengan makna dilakukan karena sangat terpaksa, misalnya karena lupa susunan harfiahnya.
3. yang diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda Nabi dalam bentuk bacaan yang sifatnya ta’abudiy misalnya zikir, do’a, azan, takbir, dan syahadat, serta bukan sabda Nabi yang bentuknya jawami’ al-kalim.

Adanya ketentuan tersebut menandakan bahwa periwayatan hadis secara makna, walaupun oleh sebagian besar ulama’ hadis di bolehkan, tetapi prakteknya tidak ”longgar”. Artinya, para periwayat tidak bebas bgitu saja dalam melakukan periwayatan secara makna. Walaupun periwayatan secara makna diikat oleh berbagai ketentuan, tetapi ketentuan itu tidaklah berstatus ijmak, maka kerukunan susunan redaksi matan untuk hadis-hadis yang semakna tetap sulit terhindarkan. Sekedar contoh dapat dikemukakan disini matan hadis tentang niat beramal.
Selajutnya, ulama’ hadis mempersoalkan tentang boleh tidaknya periwayat hadis meringkas atau memenggal matan hadis. Ada yang melarangnya, ada yang membolehkannya tanpa syarat dan ada yang membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Pendapat yang terakhir ini banyak diikuti oleh ulama’ hadis, syarat yang dimaksud adalah :
1. yang melakukan ringkasan bukanlah periwayat hadis yang bersangkutan.
2. apabila peringkasa dilakukan oleh periwayat hadis, maka harus telah ada yang dikemukakannya secara sempurna.
3. tidak terpenggal kalimat yang mengandung kata pengecualian (al-istisna’), syarat, penghinggaan (al-ghayah) dan yang semacamnya.
4. peringkasan tidak merusak petunjuk dan penjelasan yang terkandung dalam hadis yang bersangkutan.
5. yang melakukan peringkasan haruslah orang yang benar-benar telah mengetahui kandungan hadis yang bersangkutan.

Ulama’ berbeda pendapat tentang periwayatan hadis dengan cara meringkas atau memenggal matan tersebut. Sesungguhnya berpangkal dari perbedaan tentang boleh-tidaknya periwayatan secara makna. Pendapat yang cukup realistik dan hati-hati adalah pendapat yang membolehkannya dengan catatan harus dipenuhi syarat-syarat tertentu.

B. Tokoh-tokoh pengkritik matan hadis

Metode ahli-ahli hadis dinilai lemah oleh orang-orang orientalis. Meraka membuat metode yang dikenal dengan ”metode kritik matan hadis” dan tokoh-tokoh orientalis itu antaralain :
1. Ignaz Goldziher
2. Wenshinck
3. Joshep Schacht
Mereka mengkritik beberapa hadis Nabvawi, karena mereka menilai hadis-hadis itu lemah, sebab dahulu para ahli hadis hanya mengkritik hadis melalui sanadnya saja dan tidak mengkritik matannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar