03 Mei 2009

matan hadits

MATAN HADITS

A. pengertian matan

Sebelum mendefinisikan matan, baik secara etimologis maupun terminologis, terlebih dahulu saya kemukakan sebuah hadis yang mengandung matan. Imam bukhari meriwayatkan :









Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad al-Mutsniy, katanya :
Telah meriwayatkan kepada kami Abdul Wahab al-Tsaqafiy, katanya :
Telah meriwayatkan kepada kami Ayyub dari Abi Qilabah dari Anas dari Nabi Saw., bahwa beliau bersabda : Ada tiga hal, yang bila ketiganya ada pada seseorang, maka orang itu akan merasakan manisnya iman. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada daripada keduanya. Hendaknya ia mencintai orang (lain) hanya karena Allah. Dan hendaknya ia membenci kembali kepada kekafiran sebagaimana kebenciannya bila dilemparkan kedalam neraka.
Sabda Nabi Saw : “ada tiga hal..............” itulah yang disebut matan, sedangkan rangkaian para perawi yang membawa hadis itu disebut sanad.
Matan secara etimologis berarti segala sesuatu yang keras bagian atasnya. Bentuk jamaknya adalah MUTUN dan MITAN. Matan dari segala sesuatu adalah bagian permukaan yang tampak darinya, juga bagian bumi yang tampak menonjol keras. Kalimat:



Seseorang mengikat anak panah dengan tali.
Matan secara terminologis adalah redaksi hadis yang menjadi unsur pendukung pengertiannya. Penamaan seperti itu barangkali didasarkan alasan bahwa bagian itulah yang tampak dan yang menjadi sasaran utana hadis. Jadi penamaan itu diambil dari pengertian etimologisnya. Dalam cotoh diatas, bagian yang disebut MATAN adalah:


Pada zaman Nabi tidak seluruh hadis ditulis oleh para sahabat nabi. Hadis nabi yang disampaikan oleh sahabat kepada periwayat lain lebih banyak berlangsung secara lisan.
Hadis nabi yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafal (riwayat bi al-lafz) oleh sahabat sebagai saksi pertama, hanyalah hadis yang dalam bentuk sabda. Sedang hadis yang tiak dalam bentuk sabda, hanya dimungkinkan dapat diriwayatkan secara makna (riwayat bi al-ma’na).
Hadis dalam bentuk sabda pun sangat sulit seluruhnya diriwayatkan secara lafal, terkecuali untuk sabda-sabda tertentu. Kesulitan periwayatan secara lafal bukan hanya disebabkan karena tidak mungkin seluruh sabda itu dihafal secara harfiah, melainkan juga karena kemampuan hafalan itu dan tingkat kecerdasan sahabat nabi tidak sama. Ada beberapa kondisi tertentu yang memberi peluang sehingga sahabat dapat menghafal dan meriwayatkan sabda nabi secara harfiah. Diantara kondisi itu ialah :

1. Nabi dikenal fasih dalam berbicara dan isi pembicaraanya berbobot. Nabi berusaha menyesuaikan sabdanya dengan bahasa (dialek), kemampuan intelektual dan latar belakang budaya audience-nya.

2. untuk sabda-sabda tertentu, Nabi menyampaikannya dengan di ulang tiga atau dua kali. Denga demikian, para sahabat akan mudah menghafal dan menyampaikan sabda itu kepada yang tidak hadir.

3. tidak sedikit sabda Nabi yang disampaikan dalam bentuk jawami’ al-kalim, yakni ungkapan pendek tettapi sarat makna.

4. diantara sabda Nabi ada yang disampaikan dalam bentuk do’a, zikir dan bacaan tertentu dalam ibadah. Sabda-sabda itu bahkan ada yang disampaikan setiap hari.

5. orang arab sejak dahulu sampai sekarang dikenal sangat kuat hafalannya.

6. kalangan sahabat Nabi ada yang telah dikenal dengan sungguh-sungguh berusaha menghafal hadis Nabi secara lafal.

Adapun hadis yang tidak berupa sabda, periwayatan yang dilakukan oleh sahabat sebagai saksi mata berlansung secara makna (riwayat bi al-ma’na). Karena hadis yang non-sabda, ketika dinyatakan oleh sahabat, rumusan kalimatnya berasal dari sahabat sendiri. Para ulama’ mempersoalkan boleh tidaknya selain sahabat Nabi meriwayatkan hadis secara makna. Abubakar Al-Arabiy berpendapat, selain sahabat nabi tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna. Menurutnya, sahabat Nabi di perbolehkan meriwayatkan hadis secara makna karena mereka :

1. memilik pengetahuan bahasa arab yang tinggi (al-fashahah wa al-balaghah).

2. menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan Nabi.

Ulama’ lainnya yang juga dikenal sangat ketat berpegang pada periwayatan secara lafal ialah : Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, Sa’lab bin Nahwiy dan Abu Bakar al-Raziy. Tapi kebanyakan para ulama’ hadis membolehkan periwayatan secara makna dengan beberapa ketentuan . Ketentuan itu cukup beragam, walaupun demikian, ada beberapa ketentuan yang disepakati antaralain :

1. yang bleh meriwayatkan hadis secara makna hanyalah mereka yang benar-benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam. Dengan demikian, periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan, misalnya mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.

2. periwayatan dengan makna dilakukan karena sangat terpaksa, misalnya karena lupa susunan harfiahnya.
3. yang diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda Nabi dalam bentuk bacaan yang sifatnya ta’abudiy misalnya zikir, do’a, azan, takbir, dan syahadat, serta bukan sabda Nabi yang bentuknya jawami’ al-kalim.

Adanya ketentuan tersebut menandakan bahwa periwayatan hadis secara makna, walaupun oleh sebagian besar ulama’ hadis di bolehkan, tetapi prakteknya tidak ”longgar”. Artinya, para periwayat tidak bebas bgitu saja dalam melakukan periwayatan secara makna. Walaupun periwayatan secara makna diikat oleh berbagai ketentuan, tetapi ketentuan itu tidaklah berstatus ijmak, maka kerukunan susunan redaksi matan untuk hadis-hadis yang semakna tetap sulit terhindarkan. Sekedar contoh dapat dikemukakan disini matan hadis tentang niat beramal.
Selajutnya, ulama’ hadis mempersoalkan tentang boleh tidaknya periwayat hadis meringkas atau memenggal matan hadis. Ada yang melarangnya, ada yang membolehkannya tanpa syarat dan ada yang membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Pendapat yang terakhir ini banyak diikuti oleh ulama’ hadis, syarat yang dimaksud adalah :
1. yang melakukan ringkasan bukanlah periwayat hadis yang bersangkutan.
2. apabila peringkasa dilakukan oleh periwayat hadis, maka harus telah ada yang dikemukakannya secara sempurna.
3. tidak terpenggal kalimat yang mengandung kata pengecualian (al-istisna’), syarat, penghinggaan (al-ghayah) dan yang semacamnya.
4. peringkasan tidak merusak petunjuk dan penjelasan yang terkandung dalam hadis yang bersangkutan.
5. yang melakukan peringkasan haruslah orang yang benar-benar telah mengetahui kandungan hadis yang bersangkutan.

Ulama’ berbeda pendapat tentang periwayatan hadis dengan cara meringkas atau memenggal matan tersebut. Sesungguhnya berpangkal dari perbedaan tentang boleh-tidaknya periwayatan secara makna. Pendapat yang cukup realistik dan hati-hati adalah pendapat yang membolehkannya dengan catatan harus dipenuhi syarat-syarat tertentu.

B. Tokoh-tokoh pengkritik matan hadis

Metode ahli-ahli hadis dinilai lemah oleh orang-orang orientalis. Meraka membuat metode yang dikenal dengan ”metode kritik matan hadis” dan tokoh-tokoh orientalis itu antaralain :
1. Ignaz Goldziher
2. Wenshinck
3. Joshep Schacht
Mereka mengkritik beberapa hadis Nabvawi, karena mereka menilai hadis-hadis itu lemah, sebab dahulu para ahli hadis hanya mengkritik hadis melalui sanadnya saja dan tidak mengkritik matannya.

filsafat ibnu tufail

IBNU TUFAIL
1) Sejarah Hidupnya
Nama lengkap Ibnu Tufail ialah Abu Bakar Muhammad ibn 'Abd Al Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Tufail, dalam tulisan latin, Abubacer. la adalah pemuka pertama dalam pemikiran filosofis Muwahhid yang berasal dari Spanyol. Ibnu Tufail lahir pada abad VI H/XIII M di kota Guadix, Propinsi Granada. Keturunan Ibnu Tufail termasuk keluarga suku Arab yang terkemuka, yaitu suku Qais.
Karier Ibnu Tufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Karena ketenaran atas jabatan tersebut, maka ia diangkat menjadi sekretaris Gubernur di Propinsi itu. Pada tahun 1154 M. (549 H.),
Ibnu Tufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Ceuta dan Tangier, Penguasa Muwahhid Spanyol pertama yang merebut Maroko. Dan dia menjabat dokter tinggi dan menjadi qadhi di pengadilan pada Khalifah Muwahhid Abu Ya'qub Yusuf (558 H/1163 M - 580 H./ 1184M).
Ibnu Tufail adalah seorang dokter, filosuf, ahli matematika dan penyair yang sangat terkenal dari Muwahhid Spanyol, akan tetapi sedikit karya-karyanya yang dikenal orang. Ibnu Khatib menganggap dua risalah mengenai ilmu pengobatan itu sebagai karyanya, Al Bitruji (muridnya) dan Ibnu Rusyd percaya bahwa dia memiliki gagasan-gagasan astonomis asli. Al Bitruji membuat sangkalan atas teori Ptolemeus mengenai epicycles dan ecentric circles, yang dalam kata pengantar dari karyanya Kitab Al Hai'ah dikemukakanriya sebagai sumbangan dari gurunya Ibnu Tufail. Dengan mengutip perkataan Ibnu Rusyd, ibn Abi Usaibiah menganggap Fi Al Buqa' Al Maskunah wal-Ghair Al Maskunah sebagai karya Ibnu Tufail, tapi dalam catatan Ibnu Rusyd sendiri acuan semacam itu tidak dapat ditemukan. Al Marrakushi, yang ahli sejarah itu, mengaku telah melihat naskah asli dari salah satu risalahnya mengenai ilmu ketuhanan. Miguel Casiri (1112 H/1710 M - 1205 H/1790 M) menyebutkan dua kaiya yang masih ada: Risalah Hayy ibn Yaqzan dan Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah, yang disebut terakhir ini berbentuk naskah. Kata pengantar dari Asrar menyebutkan bahwa risalah itu hanya merupakan satu bagian dari Risalah Hayy ibn Yaqzan, yang judul lengkapnya ialah Risalah Hayy ibn Yaqzan Fi Asrar Al Hikamat Al Mashiriqiyyah.

2) Karya "Hayy ibn Yaqzan"
Isi dari risalah Ibnu Tufail ini adalah secara dramatis. Dimulai dengan kelahiran mendadak Hay di sebuah pulau kosong. Kemudian dia dibuang di tempat terpencil oleh saudara perempuan seorang raja. Dengan maksud agar perkawinannya dengan Yaqzan tetap terahasiakan. Di mana tempat pembuangan tersebut tidak diketahui oleh kehidupan masyarakat. Di tempat itu dia diberi makan oleh seekor rusa kecil Di samping itu ia diajari oleh pikiran alamiah atau akal sehat, walaupun tak masuk akal, agar dia bisa menyelidiki rahasia segala benda. Rupanya binatang tersebut mempunyai kesadaran akan ketelanjangannya dan ketiadaan perlindungan atas dirinya. Anak tersebut di atas oleh Ibnu Tufail dinamakan Hay ibn Yaqzan.
Penghidupan Hay kemudian berkembang mengikuti masyarakat yang amat primitif itu mulai dari langkahnya yang pertama. Dilihatnya semua hewan tertutup auratnya dengan kulit dan bulu. Lalu ditirunya. Diambilnya bulu-bulu burung dan daun-daun kayu guna menutup aurat.
Pada suatu hari terlihat oleh Hay terjadi kebakaran di pulau itu. Api itu diambilnya, lalu dinyalakannya kayu-kayu terus menerus. Dengan kayu itu dicobanya membakar burung, lalu terasalah baginya makanannya yang lebih lezat setelah dimasak itu. Dia mulai berburu hewan guna dimasak dan dimakan. Guna teman berburu itu lalu dipeliharanya seekor anjing. Makanan yang berlebih disimpan untuk hari berikutnya. Dengan inilah timbullah peradabannya yang pertama.

3) Ajaran Filsafat Ibnu Tufail
a) Tentang Dunia
Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu kekal, atau diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Dalam filsafat muslim, Ibnu Tufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan tepat sebagaimana Kant. Tidak seperti para pendahulunya, tidak menganut salah satu doktrin saingannya, pun dia tidak berusaha mendamaikan mereka. Di lain pihak, dia mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi semacam itu tidak dapat lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Begitu pula konsep creatio ex nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama.
Sebagaimana, Al Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudannya mendahului kemaujudan dunia dikesampingkan. Lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Kalau begitu mengapa sang Pencipta menciptakan dunia saat itu dan bukan sebelumnya? Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab tiada sesuatupun sebelum Dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-nya. Apakah hal itu mesti dianggap bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas sifat-Nya? Tapi adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut?
Karena itu Ibnu Tufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini.

b) Tentang Tuhan

Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan sendirinya. Juga, sang Pencipta bersifat immaterial, sebab rnateri yang merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Di pihak lain, anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan membaca suatu kemunduran yang tiada akhir yang adalah musykil. Oleh karena itu, dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena Dia bersifat immaterial, maka kita tidak dapat mengenali-Nya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.
Kekekalan dunia berarti kekekalan geraknya juga, dan gerak sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, membutuhkan penggerak atau penyebab efisien dari gerak itu. Jika penyebab efisien ini berupa sebuah benda, maka kekuatannya tentu terbatas dan karenanya tidak mampu menghasilkan suatu pengaruh yang tak terbatas. Oleh sebab itu penyebab efisien dari gerak kekal harus bersifat immaterial. la tidak boleh dihubungkan dengan materi ataupun dipisahkan darinya, ada di dalam materi itu atau tanpa materi itu, sebab penyatuan dan pemisahan, keterkandungan atau keterlepasan merupakan tanda-tanda material, sedang penyebab efisien itu, sesungguhnya lepas dari itu semua.

c) Tentang Kosmologi Cahaya
Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu itu. Manifestasi kemajemukan kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya Neo-Platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses itu, pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari pada cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin dan yang dari sana menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkan kemajemukan. Semua itu merupakan pantulan cahaya matahari, dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula sesuatu yang lain dari matahari atau cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi timbul lagi kalau kita pandang cermin, yang di situ cahaya tersebut dipantulkan. Hal yang sama berlaku juga pada cahaya pertama beserta perwujudannya di dalam kosmos.

d) Epistemologi Pengetahuan
Tahap pertama, jiwa bukanlah suatu tabula rasa, atau papan tulis kosong. Imaji Tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih, tanpa prasangka. Keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial, sebagai kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik kelahiran tiba-tiba Hay di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai, pengalaman, inteleksi dan ekstase memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan hanya disipiin jiwa, tapi pendidikan semua indera dan akal, yang diperlukan untuk mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar (Kant), disatu pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi (Bergson dan Iqbal), dipihak lain, membentuk esensi epistimologi Ibnu Tufail.
Pengalaman akan menjadi suatu proses mengenal lingkungan lewat indera. Organ-organ indera ini berfungsi, berkat jiwa hewani yang ada di dalam hati, dari sana berbagai data indera yang kacau mencapai otak menyebarkannya ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf. Kemudian dikirimkan ke otak lewat jalur yang sama, di situ diproses menjadi satu kesatuan perspektif.
Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda yang oleh akal induktif, dengan alat-alat pembanding dan pembedanya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam itu tidaklah dapat dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud itu tidak dapat diamati secara langsung. Ta^pelak lagi tindakan-tindakan tampak muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan.
Setelah mendidik akal dan indera serta memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa, yang membawa kepada ekstase, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara langsung dan intuitif lewat cahaya yang ada di dalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar telinga, atau dirasa hati orang manapun. Taraf ekstase tak terkatakan atau terlukiskan, sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi Tuhan, yang merupakan cahaya suci, hanya bisa dilihat lewat cahaya di dalam esensi itu sendiri, yang masuk ke dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indera, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinyja adaiah sama.

e) Etika/Akhlak
Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non-bendawi, dan dengan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya, dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan atas esensi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiiiki jiwa hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir, dia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupun yang negatif, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan | jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban demi diri sendiri, demi yang lain-lainnya dan deini Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.

f) Filsafat dan Agama
Filsafat mengarah kepada suatu pemahaman akal secara rnurni atas kebenaran dalam konsep-konsep dan imajinasi yang sesungguhnya, tak dapat dijangkau oleh cara-cara pengungkapan konvensional. Bahasa merupakan hasil dari kebutuhan-kebutuhan material lingkungan sosial dan karena itu hanya dapat menyentuh dunia fenomena semata. Dunia angkasa, yang abstrak dan non bendawi, tidak dapat dijangkau. Bila dilukiskan dengan lambang-lambang bendawi, maka ia akan kehilangan esensinya, dan bisa bisa orang menganggapnya tidak sebagaimana yang sebenarnya.
Kalau begitu mengapa Al-Quran mehddskan dunia atas itu dalam ibarat-ibarat, sehingga pandangan yang lebih jelas terkesampingkan dan orang bisa jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan fatal karena menganggap pemenuhan kebutuhan jasmaniah sebagai esensi Tuhan, padahal Dia lepas dari itu? Dan mengapa Kitab Suci tidak hanya sekedar memberikan ajaran-ajaran dan tatacara pemujaan, dan memberi manusia" izin untuk mengumpulkan kekayaan serta meinberinya kebebasan mencari makan, yang dengan cara itu mereka mengejar tujuan yang sia-sia dan berpaling dari kebenaran? Tidakkah kebutuhan yang sana terpenting dari jiwa itu ialah membebaskan diri dari hasrat-hasrat serta ikatan-ikatan duniawi sebelum dia memulai perjalanannya menuju surga? Apakah manusia mau mengesampingkan tujuan-tujuan I duniawi untuk mengikuti kebenaran, jika mereka mencapai ' pengetahuan murni sehingga mampu memahami segala sesuatu dengan benar? Kegagalan menyedihkan Hayy dalam upaya memberi penerangan kepada massa dengan jaian memberikan konsep-konsep murni itu, membuka jalan bagi menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Nabi berlaku bijak dengan memberi mereka bentuk-bentuk yang dapat ditangkap oleh indera dan bukannya penerangan melulu, sebab mereka tidak memiliki jalan keselamatan yang lain. Bila mencapai pengetahuan murni, mereka akan terguncang dan jatuh dan berakhir dengan buruk. Bagaimanapun, meski Ibnu Tufail menyuarakan kebijaksanaan Negara Muwahhid tentang penahanan pengajaran filsafat kepada orang kebanyakan, namun dengan jelas dia mengakui adanya sekelompok orang berbakat yang patut mendapatkan petunjuk-petunjuk filosofis dan kepada mereka paling baik ditanamkan pengetahuan serta kebijaksanaan dengan jalan mengemukakan kiasan-kiasan.
Agama diperuntukkan bagi semua orang tetapi, filsafat hanya bagi orang-orang berbakat yang sedikit jumlahnya. Kelebihan mereka harus dipisahkan secara hati-hati. Tak pelak lagi, filsafat haras dipahami secara bersamaan dengan agama, keduanya membawa kepada kebenaran yang sama, tetapi dengan cara-cara yang berbeda. Mereka berbeda bukan hanya dalam metoda dan lingkup, tapi juga dalam taraf rahmat yang mereka anugerahkan kepada para pengikut setia mereka.

tabligh wal bayan

Bab II
Pembahasan
AL-TABLIGH WA AL-BAYAN

Setiap nabi dan rasul Allah berkewajiban menyampaikan kebenaran agama (risalah) yang dibawa kepada umat dan kaumnya. Tugas dan kewajiban menyampaikan kebenaran itu disebut tablig {tabligh). Secara harfiah, kata tabligh, iblagh, atau balagh, berarti al-Ishal, menyampaikan sesuatu kepada pihak lain. Balagh dapat pula berarti sesuatu (materi atau pesan) yang disampaikan juru penerang (muballigh) baik dari al-Qur'an dan al-Sunnah maupun dari dirinya sendiri.
Dalam al-Qur'an, kata tabligh dalam berbagai bentuknya diulang sebanyak 25 kali. Kata yang dibentuk dari kata kerja (ballagha) terulang 7 kali, dari ablagha sebanyak 4 kali, dan dalam bentuk mashdar {balagh), diulang sebanyak 14 kali. Menurut pakar bahasa al-Ashfahani, kata tabligh menunjuk pada kegiatan menyampaikan kebenaran (agama) secara lisan. Tabligh atau balagh memiliki akar kata yang sama dengan balaghah atau baligh yang berarti kata-kata yang sangat indah (sastra). Ini mengandung pengertian bahwa tabligh merupakan dakwah oral atau dakwah dengan kata-kata.
Menurut Quthub, tabligh berarti menyampaikan dan menyeru manusia kepada kebenaran agama, terutama kebenaran aqidah tauhid. Bagi para nabi dan rasul Allah, keharusan tablig ini, menurut Quthub, dikaitkan dengan dua kepentingan. Pertama, tabligh dilakukan untuk memberi informasi kepada manusia tentang adanya kebenaran dari Allah swt. Lalu, mereka diharap-kan menerima dan beriman kepada kebenaran yang dibawa para nabi dan rasul Allah swt itu agar mereka terbebas dari adzab Allah swt.
Kedua, tabligh dilakukan sebagai argumen (hujjah) Allah atas manusia. Dengan tablig, berarti kebenaran telah disampaikan oleh Allah swt kepada manusia melalui nabi dan rasul-Nya, sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak mengetahui kebenaran itu. Atas dasar itu, Allah swt berhak untuk memberi upah atau memberi siksa kepada orang yang menerima atau menolak kebenaran tersebut. Inilah menurut Quthub, makna tabligh sebagai argument Tuhan (hujjati) atas umat manusia.
Keharusan tablig seperti tersebut di atas terbaca dengan jelas, misalnya, dalam ayat ini:






"HaiRasul, sampaikanlah apayang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. " (Q.S. al-Ma'idah: 67).
Pembicaraan (khithab) dalam ayat ini, menurut Quthub, ditujukan kepada Nabi Muhammad saw dalam hubungannya dengan Ahli Kitab. Dalam ayat ini, Allah swt menyuruh Nabi agar melaksanakan tabligh dengan sebaik-baiknya. Dalam melakukan tablig, Nabi saw diperintahkan agar memperhatikan dua prinsip yang berkaitan dengan materi tabligh.
Prinsip pertama, bahwa kebenaran yang disajikan melalui tablig harus sempurna dan utuh, tidak sepotong-sepotong (prinsip kamilah). Prinsip kedua, bahwa kebenaran yang disampaikan melalui tabligh, terutama menyangkut aqidah, harus tegas dan jelas dalam arti distingtif, yaitu bahwa aqidah Islam itu harus dibedakan secara jelas dengan berbagai kepercayaan lain yang sesat dan menyimpang (prinsip fashilah). Dalam masalah ini, tidak dibenarkan adanya basa-basi yang dapat mengurangi distinksi aqidah Islam dengan kepercayaan lain yang sesat.
Di balik perintah tabligh dengan tegas dan jelas itu, menurut Quthub, justru terkandung makna atau hikmah. Di antaranya, dengan tabligh yang jelas dan tegas itu, kesesatan mereka (mad'u) yang selama ini tersembunyi atau disembunyikan akan terungkap. Dengan cara demikian, dapat pula diketahui kekufuran dan reaksi jahat mereka sehingga mereka layak mendapat hukuman dan balasan yang setimpal.
Bagi Quthub, tablig tidak cukup dilakukan hanya dengan lisan (bi al-lisdn) saja sebagaimana maknanya yang semula. Tabligh, sebagai usaha memperkenalkan gagasan dan konsep Islam (al-tashawwur al-Isldmi) kepada umat manusia, menurut Quthub, harus pula dilakukan dengan keteladanan (qudwat hasanah) dan dengan perbuatan nyata (bi al-'amat), sehingga Islam sebagai sitem hidup mudah dimengerti dan dipahami. Tabligh, dengan begitu, tidak bersifat retorik semata, tetapi juga bersifat aplikatif dan implementatif dari kebenaran Islam.
Dalam perspektif ini, para penyeru kebenaran itu (mubal-lighiri) haruslah orang-orang yang mula-mula memperlihatkan kebenaran itu dalam diri mereka sendiri. Dalam bahasa Quthub, mereka harus menjadi terjemah hidup yang kasat mata (tarjamat hayat waqi'ah) dari kebenaran yang disampaikan. Bahkan tabligh harus pula dilakukan (dilanjutkan) dengan perang suci (bi al-jihad) bila mendapat hambatan dan gangguan yang menghalang-halangi jalan dakwah.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa proses dakwah dalam pandangan Quthub, tidak boleh dan sama sekali tidak boleh berhenti pada proses tabligh dalam pengertiannya yang sempit. Quthub mengkritik keras pendapat yang menyatakaan dakwah identik dengan tabligh, atau dakwah hanyalah sekadar tabligh. Seperti umum diketahui, menurut pendapat ini, bila seorang telah melakukan tabligh, maka ia dipandang telah melaksanakan dakwah.
Jadi, tabligh dalam perspektif dakwah pergerakan, sebagai-mana digagas Sayyid Quthub, dipandang dan ditempatkan pada tahap awal, bukan akhir dari proses panjang kegiatan dakwah. Disamping tabligh, dakwah sebagai ikhtiar mewujudkan sistem Islam dalam semua segi kehidupan manusia, memiliki tugas dan fungsi lain, yaitu amar ma'ruf dan nahi munkar, serta jihad di jalan Allah—dari tabligh ke amar ma'rufdan nahi munkar.

01 Mei 2009

kode etik dakwah

kode etik dakwah

BAB I

PENDAHULUAN


Latar belakang

Adalah suatu fakta bahwa dakwah merupakan lapangan yang sangat penting baik dilihat dari pandangan agama maupun dari segi pertumbuhan bangsa yang sedang membangun. Makin banyak masyarakat membicarakan pembangunan makin terasa sekali bagaimana ketergantungannya pada manusia, faktor insan yang amat menentukan, apakah akan berhasil atau tidak. Sekian baik rencana dan cukup matang pengolahannya namun bergantung pula pada manusia yang akan melaksanakannya sedang manusia itu adalah unsur mutlak yang tidak dapat dinilai dari sekedar ratio dan tenaga saja tetapi juga dari segi rohani dan dhamirnya juga.

Dalam hal ini Agama islam memberikan sumbangan yang amat berharga karena mengandung ajaran-ajaran yang sangat diperlukan oleh bangsa yamg sedang membangun, islam cukup mempunyai manhaj untuk membangun manusia yang akan melaksanakan pembangunan itu melalui keteladanan seorang rasul Muhammad saw.

Berikut ini kami akan menguraikan sedikit tentang apakah yang telah rasul lakukan sehingga dunia begitu kagum dengan keberhasilannya merubah umat dari tempat yang gelap menuju kepada masa yang penuh dengan kemajuan-kemajuan.Insya Allah.







BAB II

Kode etik dakwah

Karena dakwah merupakan upaya untuk mempengaruhi orang lain, maka agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan baik bagi da’i sendiri maupun pihak yang didakwahi, dakwah nabi saw mengenal adanya aturan-aturan permainan yang dikenal dengan etika dakwah atau kode etik dakwah. Sebenarnya secara umum etika dakwah adalah etika islam itu sendiri, dimana seorang da’i sebagai seorang muslim dituntut untuk memiliki etika-etika yang terpuji dan menjauhkan diri dari prilaku yang tercela. Namun secara khusus dalam dakwah terdapat etika sendiri seperti dicontohkan nabi saw berikut ini:
1.Tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan

Dalam menjalankan dakwah Rasulullah saw tidak pernah memisahkan antaera apa yang beliau katakana dengan apa yang beliau kerjakan. Artinya apa yang beliau perintahkan beliau mengerjakannya, dan apa yang beliau larang beliau meninggalkannya. Misalnya dalam hal perintah beliau untukn shalat, beliau bersabda shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.
Dengan demikian para shahabat tidak merasa kesulitan dalam melaksanakan perintah nabi saw karena mereka telah melihat pergaan praktis dari perintah yang beliau ucapkan. Misalnya hal yang berkaitan dengan masalah kewanitaan, beliau tidak mengerjakannya dan sebagai gantinya biasanya salah seorang istri beliau memberikan contoh.
Misalnya ketika beliau kedatangan seorang wanita anshar yang bertanya tentang cara membersihkan bekas haid. Beliau kemudian mengatakan” ambillah kain yang empuk dan berilah wewangian. Kemudian tekan-tekanlah kain itu” namun nampaknya wanita belum paham dengan jawaban nabi tadi. Sampai ia menanyakan kembali berkali-kali . akhirnya aisyah menerangkan secara rinci dan jelas bagaiman cara membersihkan bekas-bekas darah haid itu.
Etika dakwah seperti ini merupakan suatu keharusan bagi para da’I. tanpa hal itu sulit rasanya dakwah mereka dapat berhasil. Allah sendiri mengecam orang-orang yang hanya pandai berbicara tetapi tidak pernah melakukannya.







Hai orang-orang yang beriman mengapa kalian mengatakan hal-hal yang kalian tidak melakukannya? Amat besar murka di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan ( al-shaf 2-3 )

2.Tidak melakukan toleransi agama
Toleransi memang dianjurkan oleh islam tetapi dalam batas-batas tertentu dan tidak menyangkut masalah agama atau aqidah. Dalam hal ini islam memberikan garis tegas tidak bertoleransi, kompromi dan sebagainya .
Ketika nabi masih tinggal di mekkah orang-orang musyrikin mencoba mengajak beliau untuk melakukan kompromi agama, kata mereka “wahai Muhammad ikutilah agama kami maka kamipun akan mengikuti kamu, kamu menyembah tuhan-tuhan kami selama satu tahun nanti kami akan menyembah tuhan kamu selama satu tahun juga”.
Mendengar ajakan itu nabi berkata “saya mohon perlindungan Allah agar tidak mempersekutukanNYA dengan yang lain” kemudian turun surat alkafirun yang intinya orang islam tidak diperkenankan menyembah sesembahan orang-orang kafir

3.Tidak mencerca seembahan
Pada waktu nabi masih di mekkah orang musyrikin mengaatakan bahwa beliau dan para pengikutnya sering meghina dan mencerca berhala sesembahan mereka akhirnya secara emosional mereka mencerca Allah sesembahan nabi. lalu Allah menurunkan ayat yang berbunyi




dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan ( al-An’am )

4.Tidak melakukan diskriminasi
Dalam menjalankan tugas dakwah nabi tidak diperkenankan melakukan diskriminasi sosial antara orang yang didakwahi beliau tidak diperkenankan lebih mementingkan orang-orang kelas elite saja sementara orang kelas bawah dinomorduakan. Berikut ini adalah contoh dimana nabi dikritik oleh Allah ketika beliau kurang memperhatikan orang yang dari kelas bawah yang bernama Ummi Maktum ketika nabi sedang menerima tamu yang terdiri dari para pembesar quraisy, maka Allah menegur beliau dengan menurunklan surat abasa 1-2




Dia Muhammad bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya

5.Tidak memungut imbalan
Suatu hal yang sangat penting dalam dakwah saw maupun nabi-nabi sebelumnya beliau tidak pernah memungut imbalan dari pihak-pihak yang didakwahi beliau hanya mengharapkan imbalan dari Allah saja, sikap beliau ini berdasarkan perintah Allah sebagai berikut





Katakanlah upah apapun yang aku pinta kepadamu maka hal itu untuk kamu karena aku tidak minta upah apapun kepadamu upahku hanya dari Allah Dia maha mengetahui segala sesuatu (as- Saba 47)

6.Tidak mengawani pelaku maksiat
dalam menjalankan dakwah ternyata Nabi saw tidak pernah berkawan, apalgi berkolusi dengan para pelaku maksiat. Hal ini bukan karena pada masa Nabi tidak ada orang yag berbuat maksiat, melainkan seperti itulah etika dakwah. Pada masa nabi ada orang yang berbuat maksiat misalnya ketika seorang shabat bernama Martsad bin abu Martsad hendak menikahi seorang wanita bernama Anaq dan wanita ii diketahui sebagai pezina, Nabi saw melarang martsad menikahi wanita tersebut.
Berkawan dengan pelaku maksiat akan bersdampak serius, karena pelaku maksiat tadi akan beranggapan bahwa perbuatannya itu direstui o;eh da’i yang menikahinya. Ini tentu saja selama oelaku maksiat tadi masih tetap berprofesi dengan kemaksiatannya, tetapi apabila ia sudah meninggalkannya kemudian bertaubat tentu masalahnya akan lain.
Nabi muahammad saw mengatakan bahwa para ulama atau da’i yng bersahabat dengan para pelaku maksiat akan dilaknat oleh Allah swt sebagaimana yang pernah terjadi pada bani israil laknatullah ‘alihim. Beliau mengatakan ini dalam hal menafsiri firman Allah surat Al-maidah 78-79 sebagai berikut:













Telah dilaknati oleh Allah orang-orang kafir dari bani israil dengan lisan Daud dan Isa bin Maryam. Hal itu karena mereka durhaka dan selalu malampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang perbuatan mungkar yang mereka lakukan itu.



7.Tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui

Seorang da’i adalah penyampai ajaran islam sementara ajaran itu berisi hal-hal tentang halal haram dan sebagainya. Da’i yang menyampaikan suatu hukum sementara ia tidak mengetahui hukum itu pastilah ia akan menyesatkan orang lain. Ia lebih baik mengatakan tidak tahu atau wallahu ‘alam apabila ia tidak tahu jawaban suatu masalah. Ia juga tidak boleh asal menjawab dan hanya menurut seleranya sendiri, karena masalah yang ditanyakan pada da’i tentulah masalah keagamaan yang harus ada dalilnya baik dari Al-quran atau hadits
Dalam hal ini Allah menegaskan:







Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semua itu akan diminta pertanggungjawabannya ( Al- isra 36 )

BAB III
Penutup

konsep surga dan neraka

BAB II
PEMBAHASAN

SURGA DAN NERAKA
Sebagaimana telah kita maklumi bahwasanya yang disebut surga dan neraka itu adalah tempat abadi yang disediakan bagi manusia sebagai pembalasan yang layak bagi amal perbuatannya di dunia. Surga sebagai tempat kenikmatan dan kebahagiaan yang di sediakan bagi orang – orang yang saleh, sedang neraka adalah tempat siksaan bagi orang – orang yang durhaka. Di dalam Al-Qur’an ungkapan tentang surga dan neraka dinyatakan sebagai imbalan dan ganjaran atas apa yang telah dilakukan oleh manusia. Orang – orang yang menaati segala perintah Allah denga melakukan kebajikan akan masuk kedalam surga. Sedangkan mereka yang mendurhakai Allah dan melakukan perbuatan – perbuatan yang dilarang oleh Allah akan masuk kedalam neraka.

1. pengertian surga
Di dalam bahasa Arab surga disebut dengan al – jannah atau al-hadiqah zatusy syajar (kebun atau taman yang terdiri dari berbagai macam pepohonan). Maka surga dipahami dengan berbagai macam kenikmatan dan kelezatan yang luar biasa.

Diantara para ulama’ membagi surga dalam 3 bagian :
1. Jannatul Ikhtisas
2. Jannatul Mirats
3. Jannatul A’mal

Jannatul Ikhtisas adalah surga yang disediakan bagi anak – anak kecil yang meninggal sebelum dikenakan kewajiban. Yakni meninggal dibawah umur 6 tahun. Juga Allah akan menempatkan siapa saja yang di kehendaki dalam surga Ikhtisas ini dan orang – orang yang hilang akalnya. Yaitu orang yang baik kelakuannya ketika masih normal kemudian menderika sakit ingatan sampai meninggal..

Adapun Jannatul Mirats ialah tempat di surga yang mestinya disediakan bagi orang – orang kafir kalau seandainya mereka beriman. Jelasnya, oleh karena tempat – tempat yang disediakan itu tidak jadi diisi oleh orng – orang tak beriman, maka tempat –tempat tadi dibagikan kepada ahli surga, sebagai pembagian tambahan (warisan). Setelah tempat – tempat yang telah di tentukan sendiri bagi mereka masing – masing.

Kemudian Jannatul A’mal ialah surga yang disediakan bagi orang – orang mukmin berdasarkan amal – amalnya. Surga inilah yang bagiannya tidak sama, bahkan menurut amalnya sendiri – sendiri.

Orang – orang yang masuk surga disebut dengan Ahl al – jannah (ahli surga). Mereka memperoleh surga surga disebabkan selalu menegakkan shalat dengan baik, mengakui bahwa didalam harta yang dimiliki ada bagian yang diperuntukkan bagi peminta – minta dan fakir miskin, yang meyakini bahwa hari kiamat benar – benar terjadi, yang benar – benar takut akan hukuman Tuhan, yang menjaga kehormatannya, yang memelihara kepercayaan serta memegang janji yang mereka ucapkan dan yang memberikan kesaksian yang benar.

Di dalam surga tidak ada lagi permusuhan, tidak ada dendam kesumat. Para ahli surga hidup rukun dan damai, aman sejahtera sepanjang masa, tidak ada usia tua dan muda. Usia para penghuni surga sebaya, tidak pernah menjadi tua, semua dalam keadaan sehat tidak pernah dihinggapi penyakit,. Seluruhnya merupakan balasan dari kebajikan yang telah dilaksanakan di dunia.
Di dalam Al-Qur’an ditemukan bermacam – macam nama bagi surga. Nama – nama itu adalah :

1. Surga Fidaus, disebut dalam surat al-Kahfi ayat 107-108

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا. خَالِد ِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah daripadanya.

2. Surga ‘Adnin, disebut dalam surat al-Kahfi ayat 30-31 :



إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا. أُولَئِكَ لَهُمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَيَلْبَسُونَ ثِيَابًا خُضْرًا مِنْ سُنْدُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ مُتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الْأَرَائِكِ نِعْمَ الثَّوَابُ وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقًا.

Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan (nya) dengan baik. Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga `Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat-istirahat yang indah;

3. Surga Na’im, disebut dalam surat al-Luqman ayat 8-9 :

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتُ النَّعِيمِ. خَالِدِينَ فِيهَا وَعْدَ اللَّهِ حَقًّا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, bagi mereka surga-surga yang penuh keni`matan, Kekal mereka di dalamnya; sebagai janji Allah yang benar. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

4. Surga Ma’wa, disebut dalam surat al-Sajadah ayat 19 :

أَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ جَنَّاتُ الْمَأْوَى نُزُلًا بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, maka bagi mereka surga-surga tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang telah mereka kerjakan

5. Surga Darussalam, disebut dalam surat Yunus ayat 25 :

وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ.

Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).

6. Surga Darul Muqamah, disebut dlam surat Fathir ayat 34-35:

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ. الَّذِي أَحَلَّنَا دَارَ الْمُقَامَةِ مِنْ فَضْلِهِ لَا يَمَسُّنَا فِيهَا نَصَبٌ وَلَا يَمَسُّنَا فِيهَا لُغُوبٌ.

Dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu".

7. Surga al-Maqamul Amin, disebut dalam surat al-Dukhan ayat 51 :
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي مَقَامٍ أَمِينٍ.

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman,



2. Pengertian Neraka
Adapun neraka desebut dengan al-nar (api yang menyala). Oleh sebab itu neraka dipahami sebagai tempat yang berisi berbagai macam azab dan siksaan serta balasan bagi orang – orang yang berbuat dosa atau kesalahan. Oleh sebab itu neraka disebut juga dengan mautin al- azab (tempat untuk berlakunya siksaan).
Orang yang masuk kedalam neraka disebut dengan Ahl al-Nar (Ahli Neraka). Mereka adalah yang memiliki sifat –sifat tidak baik seperti kekufuran dan orang – orang yang melakukan kekufuran disebut kafir. Di samping kufur, sifat – sifat lain yang mengantarkan orang masuk ke dalam neraka adalah takzib (mendustakan Tuhan) dsb. Siksaan di neraka dilaksanakan setelah manusia melalui perhitungan mempergunakan mizan (timbangan) terhadap amal masing – masing. Hal ini dilakukan setelah hari kiamat, manusia dibangkitkan dari kubur untuk dihitung semua amalnya, kemudian diketahui siapa yang berhak masuk neraka dengan berbagai macam siksaannya.
Lamanya seseorang berada dalam neraka berbeda – beda. Ada yang hanya sebentar saja, yakni orang mukmin yang melakukan dosa dan setelah dosanya dibakar dalam neraka kemudian dia dimasukkan ke dalam surga. Dan ada pula yang kekal di dalam neraka, yakni orang – orang kafir dan orang – orang musyrik yang mendustakan agama.
Adapun nama – nama neraka yang disebut di dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut :

1. Neraka Jahannam, disebut dalam surat At-Taubah ayat 63 :

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ.

Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahannamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar.


2. Neraka Jahim, disebut dalam surat al-Dukhan ayat 56 :

لَا يَذُوقُونَ فِيهَا الْمَوْتَ إِلَّا الْمَوْتَةَ الْأُولَى وَوَقَاهُمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ.

mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia. Dan Allah memelihara mereka dari azab neraka,

3. Neraka Hawiyah, disebut dalam surat al-Qari’ah ayat 8-11 :

وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ. فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ. نَارٌ حَامِيَةٌ.

Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan) nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.


4. Neraka Weil, disebut dalam surat al-Mutaffifin ayat 1-3 :


وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ. الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ. وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ.

Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.


5. Neraka Ladza, disebut dalam surat al-Ma’arij ayat 15-18:

كَلَّا إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِلشَّوَى. تَدْعُوا مَنْ أَدْبَرَ وَتَوَلَّى. وَجَمَعَ فَأَوْعَى.

Sekali-kali tidak dapat. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak, Yang mengelupaskan kulit kepala, Yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama). Serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya.


6. Neraka Sa’ir, disebut dalam surat al-mulk ayat 5:

وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ.
Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.


7. Neraka saqar, disebut dalam surat al-Mudatsir ayat 36-30 :


سَأُصْلِيهِ سَقَرَ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا سَقَرُ. لَا تُبْقِي وَلَا تَذَرُ. لَوَّاحَةٌ لِلْبَشَرِ. عَلَيْهَا تِسْعَةَ عَشَرَ.

Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar. Tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. (Neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia. Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga).

8. Neraka al-Huthamah, disebut dalam surat al-Humazah ayat 4-9:



كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ. نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ. الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ. إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ. فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ.

sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.

Menurut ahli sunnah, surga dan neraka itu sejak sekarang ini ( dan sebelumnya) sudah tersedia, berdasarkan ayat – ayat antara lain :


وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ.
Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. (Q.S. Ali-imran 131)

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ.
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (Q.S. Ali- Imran :133)


Akan tetapi kaum Mu’tazilah tidak membenarkan bahwa surga dan neraka itu telah disediakan sejak sekarang ini, hanya saja dalam prinsipnya mereka mengakui bahwa surga dan neraka itu pasti ada, dan akan di ciptakan setelah saatnya nanti. Alasan mereka, karena saat ini belum di perlukan.