03 Mei 2009

filsafat ibnu tufail

IBNU TUFAIL
1) Sejarah Hidupnya
Nama lengkap Ibnu Tufail ialah Abu Bakar Muhammad ibn 'Abd Al Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Tufail, dalam tulisan latin, Abubacer. la adalah pemuka pertama dalam pemikiran filosofis Muwahhid yang berasal dari Spanyol. Ibnu Tufail lahir pada abad VI H/XIII M di kota Guadix, Propinsi Granada. Keturunan Ibnu Tufail termasuk keluarga suku Arab yang terkemuka, yaitu suku Qais.
Karier Ibnu Tufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Karena ketenaran atas jabatan tersebut, maka ia diangkat menjadi sekretaris Gubernur di Propinsi itu. Pada tahun 1154 M. (549 H.),
Ibnu Tufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Ceuta dan Tangier, Penguasa Muwahhid Spanyol pertama yang merebut Maroko. Dan dia menjabat dokter tinggi dan menjadi qadhi di pengadilan pada Khalifah Muwahhid Abu Ya'qub Yusuf (558 H/1163 M - 580 H./ 1184M).
Ibnu Tufail adalah seorang dokter, filosuf, ahli matematika dan penyair yang sangat terkenal dari Muwahhid Spanyol, akan tetapi sedikit karya-karyanya yang dikenal orang. Ibnu Khatib menganggap dua risalah mengenai ilmu pengobatan itu sebagai karyanya, Al Bitruji (muridnya) dan Ibnu Rusyd percaya bahwa dia memiliki gagasan-gagasan astonomis asli. Al Bitruji membuat sangkalan atas teori Ptolemeus mengenai epicycles dan ecentric circles, yang dalam kata pengantar dari karyanya Kitab Al Hai'ah dikemukakanriya sebagai sumbangan dari gurunya Ibnu Tufail. Dengan mengutip perkataan Ibnu Rusyd, ibn Abi Usaibiah menganggap Fi Al Buqa' Al Maskunah wal-Ghair Al Maskunah sebagai karya Ibnu Tufail, tapi dalam catatan Ibnu Rusyd sendiri acuan semacam itu tidak dapat ditemukan. Al Marrakushi, yang ahli sejarah itu, mengaku telah melihat naskah asli dari salah satu risalahnya mengenai ilmu ketuhanan. Miguel Casiri (1112 H/1710 M - 1205 H/1790 M) menyebutkan dua kaiya yang masih ada: Risalah Hayy ibn Yaqzan dan Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah, yang disebut terakhir ini berbentuk naskah. Kata pengantar dari Asrar menyebutkan bahwa risalah itu hanya merupakan satu bagian dari Risalah Hayy ibn Yaqzan, yang judul lengkapnya ialah Risalah Hayy ibn Yaqzan Fi Asrar Al Hikamat Al Mashiriqiyyah.

2) Karya "Hayy ibn Yaqzan"
Isi dari risalah Ibnu Tufail ini adalah secara dramatis. Dimulai dengan kelahiran mendadak Hay di sebuah pulau kosong. Kemudian dia dibuang di tempat terpencil oleh saudara perempuan seorang raja. Dengan maksud agar perkawinannya dengan Yaqzan tetap terahasiakan. Di mana tempat pembuangan tersebut tidak diketahui oleh kehidupan masyarakat. Di tempat itu dia diberi makan oleh seekor rusa kecil Di samping itu ia diajari oleh pikiran alamiah atau akal sehat, walaupun tak masuk akal, agar dia bisa menyelidiki rahasia segala benda. Rupanya binatang tersebut mempunyai kesadaran akan ketelanjangannya dan ketiadaan perlindungan atas dirinya. Anak tersebut di atas oleh Ibnu Tufail dinamakan Hay ibn Yaqzan.
Penghidupan Hay kemudian berkembang mengikuti masyarakat yang amat primitif itu mulai dari langkahnya yang pertama. Dilihatnya semua hewan tertutup auratnya dengan kulit dan bulu. Lalu ditirunya. Diambilnya bulu-bulu burung dan daun-daun kayu guna menutup aurat.
Pada suatu hari terlihat oleh Hay terjadi kebakaran di pulau itu. Api itu diambilnya, lalu dinyalakannya kayu-kayu terus menerus. Dengan kayu itu dicobanya membakar burung, lalu terasalah baginya makanannya yang lebih lezat setelah dimasak itu. Dia mulai berburu hewan guna dimasak dan dimakan. Guna teman berburu itu lalu dipeliharanya seekor anjing. Makanan yang berlebih disimpan untuk hari berikutnya. Dengan inilah timbullah peradabannya yang pertama.

3) Ajaran Filsafat Ibnu Tufail
a) Tentang Dunia
Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu kekal, atau diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Dalam filsafat muslim, Ibnu Tufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan tepat sebagaimana Kant. Tidak seperti para pendahulunya, tidak menganut salah satu doktrin saingannya, pun dia tidak berusaha mendamaikan mereka. Di lain pihak, dia mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi semacam itu tidak dapat lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Begitu pula konsep creatio ex nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama.
Sebagaimana, Al Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudannya mendahului kemaujudan dunia dikesampingkan. Lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Kalau begitu mengapa sang Pencipta menciptakan dunia saat itu dan bukan sebelumnya? Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab tiada sesuatupun sebelum Dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-nya. Apakah hal itu mesti dianggap bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas sifat-Nya? Tapi adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut?
Karena itu Ibnu Tufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini.

b) Tentang Tuhan

Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan sendirinya. Juga, sang Pencipta bersifat immaterial, sebab rnateri yang merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Di pihak lain, anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan membaca suatu kemunduran yang tiada akhir yang adalah musykil. Oleh karena itu, dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena Dia bersifat immaterial, maka kita tidak dapat mengenali-Nya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.
Kekekalan dunia berarti kekekalan geraknya juga, dan gerak sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, membutuhkan penggerak atau penyebab efisien dari gerak itu. Jika penyebab efisien ini berupa sebuah benda, maka kekuatannya tentu terbatas dan karenanya tidak mampu menghasilkan suatu pengaruh yang tak terbatas. Oleh sebab itu penyebab efisien dari gerak kekal harus bersifat immaterial. la tidak boleh dihubungkan dengan materi ataupun dipisahkan darinya, ada di dalam materi itu atau tanpa materi itu, sebab penyatuan dan pemisahan, keterkandungan atau keterlepasan merupakan tanda-tanda material, sedang penyebab efisien itu, sesungguhnya lepas dari itu semua.

c) Tentang Kosmologi Cahaya
Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu itu. Manifestasi kemajemukan kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya Neo-Platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses itu, pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari pada cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin dan yang dari sana menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkan kemajemukan. Semua itu merupakan pantulan cahaya matahari, dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula sesuatu yang lain dari matahari atau cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi timbul lagi kalau kita pandang cermin, yang di situ cahaya tersebut dipantulkan. Hal yang sama berlaku juga pada cahaya pertama beserta perwujudannya di dalam kosmos.

d) Epistemologi Pengetahuan
Tahap pertama, jiwa bukanlah suatu tabula rasa, atau papan tulis kosong. Imaji Tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih, tanpa prasangka. Keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial, sebagai kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik kelahiran tiba-tiba Hay di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai, pengalaman, inteleksi dan ekstase memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan hanya disipiin jiwa, tapi pendidikan semua indera dan akal, yang diperlukan untuk mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar (Kant), disatu pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi (Bergson dan Iqbal), dipihak lain, membentuk esensi epistimologi Ibnu Tufail.
Pengalaman akan menjadi suatu proses mengenal lingkungan lewat indera. Organ-organ indera ini berfungsi, berkat jiwa hewani yang ada di dalam hati, dari sana berbagai data indera yang kacau mencapai otak menyebarkannya ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf. Kemudian dikirimkan ke otak lewat jalur yang sama, di situ diproses menjadi satu kesatuan perspektif.
Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda yang oleh akal induktif, dengan alat-alat pembanding dan pembedanya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam itu tidaklah dapat dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud itu tidak dapat diamati secara langsung. Ta^pelak lagi tindakan-tindakan tampak muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan.
Setelah mendidik akal dan indera serta memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa, yang membawa kepada ekstase, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara langsung dan intuitif lewat cahaya yang ada di dalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar telinga, atau dirasa hati orang manapun. Taraf ekstase tak terkatakan atau terlukiskan, sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi Tuhan, yang merupakan cahaya suci, hanya bisa dilihat lewat cahaya di dalam esensi itu sendiri, yang masuk ke dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indera, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinyja adaiah sama.

e) Etika/Akhlak
Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non-bendawi, dan dengan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya, dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan atas esensi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiiiki jiwa hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir, dia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupun yang negatif, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan | jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban demi diri sendiri, demi yang lain-lainnya dan deini Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.

f) Filsafat dan Agama
Filsafat mengarah kepada suatu pemahaman akal secara rnurni atas kebenaran dalam konsep-konsep dan imajinasi yang sesungguhnya, tak dapat dijangkau oleh cara-cara pengungkapan konvensional. Bahasa merupakan hasil dari kebutuhan-kebutuhan material lingkungan sosial dan karena itu hanya dapat menyentuh dunia fenomena semata. Dunia angkasa, yang abstrak dan non bendawi, tidak dapat dijangkau. Bila dilukiskan dengan lambang-lambang bendawi, maka ia akan kehilangan esensinya, dan bisa bisa orang menganggapnya tidak sebagaimana yang sebenarnya.
Kalau begitu mengapa Al-Quran mehddskan dunia atas itu dalam ibarat-ibarat, sehingga pandangan yang lebih jelas terkesampingkan dan orang bisa jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan fatal karena menganggap pemenuhan kebutuhan jasmaniah sebagai esensi Tuhan, padahal Dia lepas dari itu? Dan mengapa Kitab Suci tidak hanya sekedar memberikan ajaran-ajaran dan tatacara pemujaan, dan memberi manusia" izin untuk mengumpulkan kekayaan serta meinberinya kebebasan mencari makan, yang dengan cara itu mereka mengejar tujuan yang sia-sia dan berpaling dari kebenaran? Tidakkah kebutuhan yang sana terpenting dari jiwa itu ialah membebaskan diri dari hasrat-hasrat serta ikatan-ikatan duniawi sebelum dia memulai perjalanannya menuju surga? Apakah manusia mau mengesampingkan tujuan-tujuan I duniawi untuk mengikuti kebenaran, jika mereka mencapai ' pengetahuan murni sehingga mampu memahami segala sesuatu dengan benar? Kegagalan menyedihkan Hayy dalam upaya memberi penerangan kepada massa dengan jaian memberikan konsep-konsep murni itu, membuka jalan bagi menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Nabi berlaku bijak dengan memberi mereka bentuk-bentuk yang dapat ditangkap oleh indera dan bukannya penerangan melulu, sebab mereka tidak memiliki jalan keselamatan yang lain. Bila mencapai pengetahuan murni, mereka akan terguncang dan jatuh dan berakhir dengan buruk. Bagaimanapun, meski Ibnu Tufail menyuarakan kebijaksanaan Negara Muwahhid tentang penahanan pengajaran filsafat kepada orang kebanyakan, namun dengan jelas dia mengakui adanya sekelompok orang berbakat yang patut mendapatkan petunjuk-petunjuk filosofis dan kepada mereka paling baik ditanamkan pengetahuan serta kebijaksanaan dengan jalan mengemukakan kiasan-kiasan.
Agama diperuntukkan bagi semua orang tetapi, filsafat hanya bagi orang-orang berbakat yang sedikit jumlahnya. Kelebihan mereka harus dipisahkan secara hati-hati. Tak pelak lagi, filsafat haras dipahami secara bersamaan dengan agama, keduanya membawa kepada kebenaran yang sama, tetapi dengan cara-cara yang berbeda. Mereka berbeda bukan hanya dalam metoda dan lingkup, tapi juga dalam taraf rahmat yang mereka anugerahkan kepada para pengikut setia mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar