12 September 2009

Agama Dan Kesehatan

PENDAHULUAN
Agama adalah suatu ajaran dimana setiap pemeluknya dianjurkan untuk selalu berbuat bai. Untuk itu semua penganut agama yang mempercayaai ajaran dan melaksanakan ajarannya mereka akan senantiasa melaksanakan segala hal yang ada dalam ajaran tersebut. Manusia tidak bias dilepaskan dengan agama, oleh karena itu agam dan manusia berhubungan sangat erat sekal. Ketika manusia jauh dari agama. Maka aka nada kekosongan dalam jiwanya.

Walaupun mungkin kebutuhan materialnya mereka terpenuhi. Akan tetapi kebutuhan batin mereka tidak, sehingga mereka akan mudah terkena penyakit hati.
Penyakit hati yang melanda manusia yang tidak beragama akan senantiasa mengahantui mereka sehinga mereka akan mudah putus asa. Oleh karena itu orang yang tidak beragama ketika mendapatkan persolan hidup mereka akan mudah putus asa dan akhirnya mereka akan melakukan penyimpangan atau tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma atau ajaran agama.
Berbeda dnegan seseorang yang beraga. Mereka akan senantiasa melakukan segala sesuatunya sesuai dengan ajaran. Dan ketika mereka lupa tidak melaksanakan rutinitas mereka dalam beribadah, mereka akan cenderung merasa bersalah sehingga mereka akan mengembalikan segala macam permasalah dalam kehidupannya ke dalam ajaran agama.
PEMBAHASAN
Pada zaman dahulu penyakit yang diderita oleh manusia sering dihubungkan dengan gejala-gejala spiritual. Ketika ada salah seorang dari mereka ada yang sakit, maka dengan spontanitas mereka akan mengkaitkan penyakit tersebut karena adanya gangguan dari makhluk halus. Oleh karena itu pada zaman dahulu ketika ada orang yang menderita penyakit selalu berkaitan dengan para dukun yang dipercaya mampu untuk berkomunikasi dengan makhluk tersebut sehingga diharapkan sang dukun dapat mengobati penyakitnya atau menahan gangguannya.
Ketika pemikiran manusia mengalami perkembangan, maka hal yang demikian tidak berlaku lagi di tengah-tengah masyarakat kita yang sudah mengenal modernisasi. Segala macam bentuk penyakit yang di derita oleh manusia akan selalu mereka hubungkan dengan keadaan sang penderita dan untuk mengobati penyakit tersebut mereka akan selalu pergi kepada seorang dokter yang sesuai dengan bidangnya masing-masing. Kepercayaan ini memang sebagian besar dapat dibuktikan oleh keberhasilan pengobatan dengan menggunakan peralatan dan pengobatan hasil temuan di bidang kedokteran modern.
Disela-sela perkembangan ilmu kesehatan atau kedokteran, sebagian orang ada yang mempelajari cara penyembuhan yang menggunakan pendekatan kepercayaan terhadap agama. Hal ini terbukti di salah satu daerah di dunia barat abad pertengahan. Mereka menggunakan pendekatan metode Hipnosa untuk mengetahui penyakit apa yang diderita oleh seseorang dan menyembuhkannya dengan metode kepercayaan terhadap agama. Ketika manusia jauh dengan agama atau Tuhan hati mereka pasti akan merasakan sesuatu yang kosong dalam hatinya. Walaupun mungkin segala sesuatu yang mereka inginkan sudah mereka dapatkan akan tetapi dari lubuk hati yang dalam mereka menginginkan ketentraman hati yang berbeda dari pada dunia yang mereka punyai. Atau mungkin ketika manusia terhimpit oleh permasalahan dunia, mereka akan lebih mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. Ketiak mereka merasa sudah tidak mempuyai cara lain untuk mendapatkan uang mereka pasti akan selalu kembalikepada Tuhan mereka untuk mencari penyelesaian dari segala macam permasalahan, karena pada hakikatnya manusia adalah fitrah atau bisa dikatakan ketika manusia jauh dari Tuhan maka suatu ketika mereka akan kembali kepada Tuhan ketika mereka dalam kondisi tertentu mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelesaikan masalahnya.
1.MANUSIA DAN AGAMA
Psikologi agama merupakan salah bukti adanya perhatian khusus para ahli Psikologi terhadap peran agama dalam kehidupan kejiwaan manusia. Manusia lari kepada agama karena rasa ketidakberdayaannya menghadapi bencana. Dengan demikian segala bentuk perilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Untuk mengatasi hal ini manusia menghadirkan Tuhan dalam dirinya sebagai pelindung mereka tatkala mereka merasa terancam dan memerlukan perlindungan terhadap segala macam bentuk ancaman terhadap dirinya.
Menurut Abraham Maslow manusia membutuhkan kebutuhan yang paling dasar hingga yang paling puncak, yaitu :
1.Kebutuhan Fisiologis, ialah kebutuhan dasar untuk hidup seperti makan, minum, istirahat dan sebagainya.
2.Kebutuhan akan rasa aman yang mendorong manusia untuk bebas dari rasa takut dan cemas. Kebutuhan ini dimanifestasikan dalam bentuk tempat tinggal yang permanen, dimana mereka bisa memanfaatkan tempat ini sebagai tempat perlindungan terhadap segala macam bahaya yang mengancamnya.
3.Kebutuan akan ras kasih sayang, antara lain berupa pemenuhan hubungan antar manusia. Manusia membutuhkan saling perhatian dan keintiman dalam pergaulan hidup.
4.kebutuhan akan harga diri. Kebutuhan ini dimanifestasikan manusia dalam bentuk aktualisasi diri antara lain dengan berbuat sesuatu yang berguna, serta dalam tahap ini manusia ingin agar buah pikirannya dihargai oleh orang lain.1
Pendekatan berikutnya menurut Victor Frankley, yaitu eksistensi manusia ditandai oleh tiga faktor, yaitu :
1.Spirituality (kerohanian)
2.Frreedom (kebebasan)
3.Responsibility (tanggung jawab)
1.AGAMA DAN PENGARUHNYA TERHADAP MENTAL
Kesehatan mental adalah ilmu yang meliputi tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan, serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan rohani.2 Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang dalam rohani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tentram. Sedangkan permasalahan kesehatan mental meyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat dalam lapangan Psikologi, kedokteran, psikiater, biologi, sosiologi, dan agama.
Beberapa temuan dalam bidang kedokteran dijumpai sejumlah kasus yang membuktikan adanya hubungan antara agama dengan kesehatan mental manusia. Orang yang merasa takut langsung akan kehilangan nafsu makan, atau buang air. Atau dalam keadaan kesal dan jengkel, maka perut seseorang akan merasa kembung. Dalam kedokteran dikenal ada beberapa macam pengobatan antara laing dengan menggunakan bahan-bahan kimia, cairan suntik atau dengan meminum obat. Atau bisa juga dengan menggunakan sorot sinar laser, getaran arus listrik, dan lain sebagainya. Selain itu juga dikenal pengobatan tradisional dengan cara pijat, suntik jarum sampai keperdukunan.
Sejak berkembanganya ilmu kedokteran, banyak sekali pengobatan yang tidak menggunakan cara-cara seperti di atas, akan tetapi menggunakan metode baru yang dikenal dengan nama Hipotheria atau dikenal dengan nama psikoterapi, yaitu penyembuhan diri sendiri yang dilakukan tanpa menggunakan bantuan obat-obatan seperti biasanya. Sesuai dengan istilahnya, maka psikoterapi dan autotherapi digunakan untuk meyembuhkan pasien yang menderita penyakit gangguan jiwa (rohani). Dalam usaha penyembuhan semacam ini banyak kasus-kasus tertentu yang biasanya dihubungkan dengan kepercayaan pasien tersebut masing-masing.
Ketika saraf tubuh manusia terputus dengan dunia luar , maka mereka akan dapat berhubungan dengan dunia khayal atau dalam arti lain mereka akan berhalusinasi sehingga meraka tidak akan sadarkan diri untuk beberapa waktu. Rasa halusinasi ini terjadi ketika manusia merasa takut karena berdosa atau melakukan sesuatu yang membuat dirinya mengecil dari orang lain, penuhkeraguan ketika memutuskan sesuatu permasalahan, mereka akan terbawa jauh dari kenyataan hidup yang sebenarnya. Dan orang yang seperti ini tidak akan mengalami kemajuan sama sekali baik dari sisi keagamaan maupun dari sisi sosialnya. Jika seseorang berada dalam keadaan normal, seimbang, hormon dan kimiawinya, maka ia akan selalu berada dalam keadaan aman. Perubahan yang terjadi dalam kejiwaan ini disebut dnegan spektrum hidup. 3
Barangkali hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap peyerahan diri seseorang terhadap sesuatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikappasrah yang semacam ini diduga akan memberi sikap positif seperti rasa bahagia, rasa aman, senang, puas, sukses, merasa dicintai. Sikap yang demikian merupakan bagian dari kebutuhan mendasar manusia yang harus dipenuhi sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Maka kondisi yang seperti ini akan membawa manusia dalam keadaan yang tenang dan normal sehingga manusia dapat melaksanakan aktivitas keseharian mereka dengan penuh rasa percaya diri dan merasakan ketenangan dalam diri mereka karena sebagian dari kebutuhan dasar mereka sudah terpenuhi. Ketika kebutuhan dasar mereka belum terpenuhi, maka manusia akan merasa cemas, khawatir, ragu-ragu dan tidak merasakan ketenagan dalam hidupnya sehingga ketika mereka beraktivitas mereka tidak akan maksimal dan hasil yang mereka peroleh pun tidak akan memuaskan.
Adapun makna hidup adalah segala hal yang mampu memberikan nilai khusus bagi seseorang yang bila dipenuhi akan mejadikan hidupnya berharga dan akhirnya akan menimbulkan penghayatan bahagian dalam dirinya.
1.TERAPI KEAGAMAAN
Seseorang yang tidak merasa aman, tenang serta tentram dalam hatinya adalah orang yang sakit rohani atau mentalnya.4 Setiap manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang diperlukan untuk melangsungkan kehidupan mereka secara lancar. Kebutuhan tersebut dapat berupa kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani atau juga kebutuhan sosial. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka manusia akan menyesuaikan diri dengan kenyataan yang ada bahwa mereka harus berusaha lebih keras lagi untuk memenuhi kekurangan dari kebutuhan mereka, sehingga segala macam cara mereka lakukan guna terpenuhinya kebutuhan tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari tak jarang dijumpai bahwa seseorang tidak mampu untuk menahan keinginan bagi seseorang yang ingin memenuhi kebutuhan dirinya atau ketika seseorang terhimput oleh persoalan ekonomi, maka dalam diri mereka akan terjadi adanya konflik dalam batin mereka yang memerlukan pengobatan atau penyelesaian dengan cepat. Ketika konflik yang dihadapinya tidak segera diselesaikan, maka batin akan merasa berat untuk menanggungnya sehingga akan bertambah paran permasalahan yang ditanggungnya. Pertentangan ini akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan rohani, yang dalam kesehatan mental dikenal dengan kekusutan rohani.
Usaha penanggulangan kekusutan rohani atau mental ini sebenarnya dapat dilakukan sejak dini oleh penderita. Dengan mencari cara yang tepat untuk menyesuaikan diri dengan memilih norma-norma moral, maka kekusutan mental akan terselesaikan. Norma-norma moral yang positif termasuk ajaran dari pada agama.
KESIMPULAN
Manusia adalah makhluk yang tidak bisa dipisahkan dari orang lain oleh karena itu kita membutuhkan mereka untuk melangsungkan kehidupan kita dengan lancar. Untuk memenuhi kebutuhan itu manusia harus bekerja keras sehingga kebutuhan mereka dapat terpenuhi baik kebutuhan primer maupun sekunder. Ketika kebutuhan mereka tidak terpenuhi secara wajar, maka akan timbul konflik dlam dirinya sehingga mengakibatkan jiwa mereka akan tergoncang dan memerlukan penanganan secepatnya.
Untuk menangani penyakit yang berhubungan dengan mental ini banyak yang menggunakan cara pengobatan tradisional dan modern. Akan tetapi dari berbagai kasus yang ada justru banyak penderita kejiwaan yang disembuhkan dengan pendekatan agama atau kepercayaan. Hal ini membuktikan bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang ber-Tuhan dan akan kembali ke-Tuhan pada suatu saat. Sehingga ketika mereka terhimpit permasalahan batin mereka akan lari kepada agama dan menemukan jawaban dari permasalahan yang mereka hadapi.
Al-Quran berfungsi sebagai As-Syifa atau obat untuk menyembuhkan penyakit fisik maupun rohani. Dalam Al-Quran banyak sekali yang menjelaskan tentang kesehatan. Ketenangan jiwa dapat dicapai dengan zikir (mengingat) Allah. Rasa taqwa dan perbuatan baik adalah metode pencegahan dari rasa takut dan sedih. Dan ketika seseorang mengalami permasalahan dalam kehidupannya maka hadapilah dengan sabar dan sholat sebagai jalan keluar dari segala macam permasalahan dan ketika segala macam usaha telah dilakukan secara maksimal maka serahkanlah segala macam urusan kita, hidup mati kita, sehat sakit kita hanya kepada Allah semata karena hanya Dia – lah segala macam urusan dikembalikan. Dan barang siapa yang menyerahkan segala urusan dunia dan akhiratnya hanya kepada Allah, maka Allah akan memberikan hati mereka rasa aman, tenang dan tentram sehingga mereka dapat beraktivitas dengan maksimal sehingga mencapai hasil yang diinginkan.
http://radensomad.com/hubungan-agama-dan-kesehatan.html

03 Mei 2009

matan hadits

MATAN HADITS

A. pengertian matan

Sebelum mendefinisikan matan, baik secara etimologis maupun terminologis, terlebih dahulu saya kemukakan sebuah hadis yang mengandung matan. Imam bukhari meriwayatkan :









Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad al-Mutsniy, katanya :
Telah meriwayatkan kepada kami Abdul Wahab al-Tsaqafiy, katanya :
Telah meriwayatkan kepada kami Ayyub dari Abi Qilabah dari Anas dari Nabi Saw., bahwa beliau bersabda : Ada tiga hal, yang bila ketiganya ada pada seseorang, maka orang itu akan merasakan manisnya iman. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada daripada keduanya. Hendaknya ia mencintai orang (lain) hanya karena Allah. Dan hendaknya ia membenci kembali kepada kekafiran sebagaimana kebenciannya bila dilemparkan kedalam neraka.
Sabda Nabi Saw : “ada tiga hal..............” itulah yang disebut matan, sedangkan rangkaian para perawi yang membawa hadis itu disebut sanad.
Matan secara etimologis berarti segala sesuatu yang keras bagian atasnya. Bentuk jamaknya adalah MUTUN dan MITAN. Matan dari segala sesuatu adalah bagian permukaan yang tampak darinya, juga bagian bumi yang tampak menonjol keras. Kalimat:



Seseorang mengikat anak panah dengan tali.
Matan secara terminologis adalah redaksi hadis yang menjadi unsur pendukung pengertiannya. Penamaan seperti itu barangkali didasarkan alasan bahwa bagian itulah yang tampak dan yang menjadi sasaran utana hadis. Jadi penamaan itu diambil dari pengertian etimologisnya. Dalam cotoh diatas, bagian yang disebut MATAN adalah:


Pada zaman Nabi tidak seluruh hadis ditulis oleh para sahabat nabi. Hadis nabi yang disampaikan oleh sahabat kepada periwayat lain lebih banyak berlangsung secara lisan.
Hadis nabi yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafal (riwayat bi al-lafz) oleh sahabat sebagai saksi pertama, hanyalah hadis yang dalam bentuk sabda. Sedang hadis yang tiak dalam bentuk sabda, hanya dimungkinkan dapat diriwayatkan secara makna (riwayat bi al-ma’na).
Hadis dalam bentuk sabda pun sangat sulit seluruhnya diriwayatkan secara lafal, terkecuali untuk sabda-sabda tertentu. Kesulitan periwayatan secara lafal bukan hanya disebabkan karena tidak mungkin seluruh sabda itu dihafal secara harfiah, melainkan juga karena kemampuan hafalan itu dan tingkat kecerdasan sahabat nabi tidak sama. Ada beberapa kondisi tertentu yang memberi peluang sehingga sahabat dapat menghafal dan meriwayatkan sabda nabi secara harfiah. Diantara kondisi itu ialah :

1. Nabi dikenal fasih dalam berbicara dan isi pembicaraanya berbobot. Nabi berusaha menyesuaikan sabdanya dengan bahasa (dialek), kemampuan intelektual dan latar belakang budaya audience-nya.

2. untuk sabda-sabda tertentu, Nabi menyampaikannya dengan di ulang tiga atau dua kali. Denga demikian, para sahabat akan mudah menghafal dan menyampaikan sabda itu kepada yang tidak hadir.

3. tidak sedikit sabda Nabi yang disampaikan dalam bentuk jawami’ al-kalim, yakni ungkapan pendek tettapi sarat makna.

4. diantara sabda Nabi ada yang disampaikan dalam bentuk do’a, zikir dan bacaan tertentu dalam ibadah. Sabda-sabda itu bahkan ada yang disampaikan setiap hari.

5. orang arab sejak dahulu sampai sekarang dikenal sangat kuat hafalannya.

6. kalangan sahabat Nabi ada yang telah dikenal dengan sungguh-sungguh berusaha menghafal hadis Nabi secara lafal.

Adapun hadis yang tidak berupa sabda, periwayatan yang dilakukan oleh sahabat sebagai saksi mata berlansung secara makna (riwayat bi al-ma’na). Karena hadis yang non-sabda, ketika dinyatakan oleh sahabat, rumusan kalimatnya berasal dari sahabat sendiri. Para ulama’ mempersoalkan boleh tidaknya selain sahabat Nabi meriwayatkan hadis secara makna. Abubakar Al-Arabiy berpendapat, selain sahabat nabi tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna. Menurutnya, sahabat Nabi di perbolehkan meriwayatkan hadis secara makna karena mereka :

1. memilik pengetahuan bahasa arab yang tinggi (al-fashahah wa al-balaghah).

2. menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan Nabi.

Ulama’ lainnya yang juga dikenal sangat ketat berpegang pada periwayatan secara lafal ialah : Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, Sa’lab bin Nahwiy dan Abu Bakar al-Raziy. Tapi kebanyakan para ulama’ hadis membolehkan periwayatan secara makna dengan beberapa ketentuan . Ketentuan itu cukup beragam, walaupun demikian, ada beberapa ketentuan yang disepakati antaralain :

1. yang bleh meriwayatkan hadis secara makna hanyalah mereka yang benar-benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam. Dengan demikian, periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan, misalnya mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.

2. periwayatan dengan makna dilakukan karena sangat terpaksa, misalnya karena lupa susunan harfiahnya.
3. yang diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda Nabi dalam bentuk bacaan yang sifatnya ta’abudiy misalnya zikir, do’a, azan, takbir, dan syahadat, serta bukan sabda Nabi yang bentuknya jawami’ al-kalim.

Adanya ketentuan tersebut menandakan bahwa periwayatan hadis secara makna, walaupun oleh sebagian besar ulama’ hadis di bolehkan, tetapi prakteknya tidak ”longgar”. Artinya, para periwayat tidak bebas bgitu saja dalam melakukan periwayatan secara makna. Walaupun periwayatan secara makna diikat oleh berbagai ketentuan, tetapi ketentuan itu tidaklah berstatus ijmak, maka kerukunan susunan redaksi matan untuk hadis-hadis yang semakna tetap sulit terhindarkan. Sekedar contoh dapat dikemukakan disini matan hadis tentang niat beramal.
Selajutnya, ulama’ hadis mempersoalkan tentang boleh tidaknya periwayat hadis meringkas atau memenggal matan hadis. Ada yang melarangnya, ada yang membolehkannya tanpa syarat dan ada yang membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Pendapat yang terakhir ini banyak diikuti oleh ulama’ hadis, syarat yang dimaksud adalah :
1. yang melakukan ringkasan bukanlah periwayat hadis yang bersangkutan.
2. apabila peringkasa dilakukan oleh periwayat hadis, maka harus telah ada yang dikemukakannya secara sempurna.
3. tidak terpenggal kalimat yang mengandung kata pengecualian (al-istisna’), syarat, penghinggaan (al-ghayah) dan yang semacamnya.
4. peringkasan tidak merusak petunjuk dan penjelasan yang terkandung dalam hadis yang bersangkutan.
5. yang melakukan peringkasan haruslah orang yang benar-benar telah mengetahui kandungan hadis yang bersangkutan.

Ulama’ berbeda pendapat tentang periwayatan hadis dengan cara meringkas atau memenggal matan tersebut. Sesungguhnya berpangkal dari perbedaan tentang boleh-tidaknya periwayatan secara makna. Pendapat yang cukup realistik dan hati-hati adalah pendapat yang membolehkannya dengan catatan harus dipenuhi syarat-syarat tertentu.

B. Tokoh-tokoh pengkritik matan hadis

Metode ahli-ahli hadis dinilai lemah oleh orang-orang orientalis. Meraka membuat metode yang dikenal dengan ”metode kritik matan hadis” dan tokoh-tokoh orientalis itu antaralain :
1. Ignaz Goldziher
2. Wenshinck
3. Joshep Schacht
Mereka mengkritik beberapa hadis Nabvawi, karena mereka menilai hadis-hadis itu lemah, sebab dahulu para ahli hadis hanya mengkritik hadis melalui sanadnya saja dan tidak mengkritik matannya.

filsafat ibnu tufail

IBNU TUFAIL
1) Sejarah Hidupnya
Nama lengkap Ibnu Tufail ialah Abu Bakar Muhammad ibn 'Abd Al Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Tufail, dalam tulisan latin, Abubacer. la adalah pemuka pertama dalam pemikiran filosofis Muwahhid yang berasal dari Spanyol. Ibnu Tufail lahir pada abad VI H/XIII M di kota Guadix, Propinsi Granada. Keturunan Ibnu Tufail termasuk keluarga suku Arab yang terkemuka, yaitu suku Qais.
Karier Ibnu Tufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Karena ketenaran atas jabatan tersebut, maka ia diangkat menjadi sekretaris Gubernur di Propinsi itu. Pada tahun 1154 M. (549 H.),
Ibnu Tufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Ceuta dan Tangier, Penguasa Muwahhid Spanyol pertama yang merebut Maroko. Dan dia menjabat dokter tinggi dan menjadi qadhi di pengadilan pada Khalifah Muwahhid Abu Ya'qub Yusuf (558 H/1163 M - 580 H./ 1184M).
Ibnu Tufail adalah seorang dokter, filosuf, ahli matematika dan penyair yang sangat terkenal dari Muwahhid Spanyol, akan tetapi sedikit karya-karyanya yang dikenal orang. Ibnu Khatib menganggap dua risalah mengenai ilmu pengobatan itu sebagai karyanya, Al Bitruji (muridnya) dan Ibnu Rusyd percaya bahwa dia memiliki gagasan-gagasan astonomis asli. Al Bitruji membuat sangkalan atas teori Ptolemeus mengenai epicycles dan ecentric circles, yang dalam kata pengantar dari karyanya Kitab Al Hai'ah dikemukakanriya sebagai sumbangan dari gurunya Ibnu Tufail. Dengan mengutip perkataan Ibnu Rusyd, ibn Abi Usaibiah menganggap Fi Al Buqa' Al Maskunah wal-Ghair Al Maskunah sebagai karya Ibnu Tufail, tapi dalam catatan Ibnu Rusyd sendiri acuan semacam itu tidak dapat ditemukan. Al Marrakushi, yang ahli sejarah itu, mengaku telah melihat naskah asli dari salah satu risalahnya mengenai ilmu ketuhanan. Miguel Casiri (1112 H/1710 M - 1205 H/1790 M) menyebutkan dua kaiya yang masih ada: Risalah Hayy ibn Yaqzan dan Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah, yang disebut terakhir ini berbentuk naskah. Kata pengantar dari Asrar menyebutkan bahwa risalah itu hanya merupakan satu bagian dari Risalah Hayy ibn Yaqzan, yang judul lengkapnya ialah Risalah Hayy ibn Yaqzan Fi Asrar Al Hikamat Al Mashiriqiyyah.

2) Karya "Hayy ibn Yaqzan"
Isi dari risalah Ibnu Tufail ini adalah secara dramatis. Dimulai dengan kelahiran mendadak Hay di sebuah pulau kosong. Kemudian dia dibuang di tempat terpencil oleh saudara perempuan seorang raja. Dengan maksud agar perkawinannya dengan Yaqzan tetap terahasiakan. Di mana tempat pembuangan tersebut tidak diketahui oleh kehidupan masyarakat. Di tempat itu dia diberi makan oleh seekor rusa kecil Di samping itu ia diajari oleh pikiran alamiah atau akal sehat, walaupun tak masuk akal, agar dia bisa menyelidiki rahasia segala benda. Rupanya binatang tersebut mempunyai kesadaran akan ketelanjangannya dan ketiadaan perlindungan atas dirinya. Anak tersebut di atas oleh Ibnu Tufail dinamakan Hay ibn Yaqzan.
Penghidupan Hay kemudian berkembang mengikuti masyarakat yang amat primitif itu mulai dari langkahnya yang pertama. Dilihatnya semua hewan tertutup auratnya dengan kulit dan bulu. Lalu ditirunya. Diambilnya bulu-bulu burung dan daun-daun kayu guna menutup aurat.
Pada suatu hari terlihat oleh Hay terjadi kebakaran di pulau itu. Api itu diambilnya, lalu dinyalakannya kayu-kayu terus menerus. Dengan kayu itu dicobanya membakar burung, lalu terasalah baginya makanannya yang lebih lezat setelah dimasak itu. Dia mulai berburu hewan guna dimasak dan dimakan. Guna teman berburu itu lalu dipeliharanya seekor anjing. Makanan yang berlebih disimpan untuk hari berikutnya. Dengan inilah timbullah peradabannya yang pertama.

3) Ajaran Filsafat Ibnu Tufail
a) Tentang Dunia
Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu kekal, atau diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Dalam filsafat muslim, Ibnu Tufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan tepat sebagaimana Kant. Tidak seperti para pendahulunya, tidak menganut salah satu doktrin saingannya, pun dia tidak berusaha mendamaikan mereka. Di lain pihak, dia mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi semacam itu tidak dapat lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Begitu pula konsep creatio ex nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama.
Sebagaimana, Al Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudannya mendahului kemaujudan dunia dikesampingkan. Lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Kalau begitu mengapa sang Pencipta menciptakan dunia saat itu dan bukan sebelumnya? Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab tiada sesuatupun sebelum Dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-nya. Apakah hal itu mesti dianggap bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas sifat-Nya? Tapi adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut?
Karena itu Ibnu Tufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini.

b) Tentang Tuhan

Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan sendirinya. Juga, sang Pencipta bersifat immaterial, sebab rnateri yang merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Di pihak lain, anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan membaca suatu kemunduran yang tiada akhir yang adalah musykil. Oleh karena itu, dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena Dia bersifat immaterial, maka kita tidak dapat mengenali-Nya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.
Kekekalan dunia berarti kekekalan geraknya juga, dan gerak sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, membutuhkan penggerak atau penyebab efisien dari gerak itu. Jika penyebab efisien ini berupa sebuah benda, maka kekuatannya tentu terbatas dan karenanya tidak mampu menghasilkan suatu pengaruh yang tak terbatas. Oleh sebab itu penyebab efisien dari gerak kekal harus bersifat immaterial. la tidak boleh dihubungkan dengan materi ataupun dipisahkan darinya, ada di dalam materi itu atau tanpa materi itu, sebab penyatuan dan pemisahan, keterkandungan atau keterlepasan merupakan tanda-tanda material, sedang penyebab efisien itu, sesungguhnya lepas dari itu semua.

c) Tentang Kosmologi Cahaya
Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu itu. Manifestasi kemajemukan kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya Neo-Platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses itu, pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari pada cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin dan yang dari sana menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkan kemajemukan. Semua itu merupakan pantulan cahaya matahari, dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula sesuatu yang lain dari matahari atau cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi timbul lagi kalau kita pandang cermin, yang di situ cahaya tersebut dipantulkan. Hal yang sama berlaku juga pada cahaya pertama beserta perwujudannya di dalam kosmos.

d) Epistemologi Pengetahuan
Tahap pertama, jiwa bukanlah suatu tabula rasa, atau papan tulis kosong. Imaji Tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih, tanpa prasangka. Keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial, sebagai kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik kelahiran tiba-tiba Hay di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai, pengalaman, inteleksi dan ekstase memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan hanya disipiin jiwa, tapi pendidikan semua indera dan akal, yang diperlukan untuk mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar (Kant), disatu pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi (Bergson dan Iqbal), dipihak lain, membentuk esensi epistimologi Ibnu Tufail.
Pengalaman akan menjadi suatu proses mengenal lingkungan lewat indera. Organ-organ indera ini berfungsi, berkat jiwa hewani yang ada di dalam hati, dari sana berbagai data indera yang kacau mencapai otak menyebarkannya ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf. Kemudian dikirimkan ke otak lewat jalur yang sama, di situ diproses menjadi satu kesatuan perspektif.
Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda yang oleh akal induktif, dengan alat-alat pembanding dan pembedanya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam itu tidaklah dapat dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud itu tidak dapat diamati secara langsung. Ta^pelak lagi tindakan-tindakan tampak muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan.
Setelah mendidik akal dan indera serta memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa, yang membawa kepada ekstase, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara langsung dan intuitif lewat cahaya yang ada di dalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar telinga, atau dirasa hati orang manapun. Taraf ekstase tak terkatakan atau terlukiskan, sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi Tuhan, yang merupakan cahaya suci, hanya bisa dilihat lewat cahaya di dalam esensi itu sendiri, yang masuk ke dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indera, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinyja adaiah sama.

e) Etika/Akhlak
Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non-bendawi, dan dengan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya, dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan atas esensi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiiiki jiwa hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir, dia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupun yang negatif, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan | jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban demi diri sendiri, demi yang lain-lainnya dan deini Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.

f) Filsafat dan Agama
Filsafat mengarah kepada suatu pemahaman akal secara rnurni atas kebenaran dalam konsep-konsep dan imajinasi yang sesungguhnya, tak dapat dijangkau oleh cara-cara pengungkapan konvensional. Bahasa merupakan hasil dari kebutuhan-kebutuhan material lingkungan sosial dan karena itu hanya dapat menyentuh dunia fenomena semata. Dunia angkasa, yang abstrak dan non bendawi, tidak dapat dijangkau. Bila dilukiskan dengan lambang-lambang bendawi, maka ia akan kehilangan esensinya, dan bisa bisa orang menganggapnya tidak sebagaimana yang sebenarnya.
Kalau begitu mengapa Al-Quran mehddskan dunia atas itu dalam ibarat-ibarat, sehingga pandangan yang lebih jelas terkesampingkan dan orang bisa jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan fatal karena menganggap pemenuhan kebutuhan jasmaniah sebagai esensi Tuhan, padahal Dia lepas dari itu? Dan mengapa Kitab Suci tidak hanya sekedar memberikan ajaran-ajaran dan tatacara pemujaan, dan memberi manusia" izin untuk mengumpulkan kekayaan serta meinberinya kebebasan mencari makan, yang dengan cara itu mereka mengejar tujuan yang sia-sia dan berpaling dari kebenaran? Tidakkah kebutuhan yang sana terpenting dari jiwa itu ialah membebaskan diri dari hasrat-hasrat serta ikatan-ikatan duniawi sebelum dia memulai perjalanannya menuju surga? Apakah manusia mau mengesampingkan tujuan-tujuan I duniawi untuk mengikuti kebenaran, jika mereka mencapai ' pengetahuan murni sehingga mampu memahami segala sesuatu dengan benar? Kegagalan menyedihkan Hayy dalam upaya memberi penerangan kepada massa dengan jaian memberikan konsep-konsep murni itu, membuka jalan bagi menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Nabi berlaku bijak dengan memberi mereka bentuk-bentuk yang dapat ditangkap oleh indera dan bukannya penerangan melulu, sebab mereka tidak memiliki jalan keselamatan yang lain. Bila mencapai pengetahuan murni, mereka akan terguncang dan jatuh dan berakhir dengan buruk. Bagaimanapun, meski Ibnu Tufail menyuarakan kebijaksanaan Negara Muwahhid tentang penahanan pengajaran filsafat kepada orang kebanyakan, namun dengan jelas dia mengakui adanya sekelompok orang berbakat yang patut mendapatkan petunjuk-petunjuk filosofis dan kepada mereka paling baik ditanamkan pengetahuan serta kebijaksanaan dengan jalan mengemukakan kiasan-kiasan.
Agama diperuntukkan bagi semua orang tetapi, filsafat hanya bagi orang-orang berbakat yang sedikit jumlahnya. Kelebihan mereka harus dipisahkan secara hati-hati. Tak pelak lagi, filsafat haras dipahami secara bersamaan dengan agama, keduanya membawa kepada kebenaran yang sama, tetapi dengan cara-cara yang berbeda. Mereka berbeda bukan hanya dalam metoda dan lingkup, tapi juga dalam taraf rahmat yang mereka anugerahkan kepada para pengikut setia mereka.

tabligh wal bayan

Bab II
Pembahasan
AL-TABLIGH WA AL-BAYAN

Setiap nabi dan rasul Allah berkewajiban menyampaikan kebenaran agama (risalah) yang dibawa kepada umat dan kaumnya. Tugas dan kewajiban menyampaikan kebenaran itu disebut tablig {tabligh). Secara harfiah, kata tabligh, iblagh, atau balagh, berarti al-Ishal, menyampaikan sesuatu kepada pihak lain. Balagh dapat pula berarti sesuatu (materi atau pesan) yang disampaikan juru penerang (muballigh) baik dari al-Qur'an dan al-Sunnah maupun dari dirinya sendiri.
Dalam al-Qur'an, kata tabligh dalam berbagai bentuknya diulang sebanyak 25 kali. Kata yang dibentuk dari kata kerja (ballagha) terulang 7 kali, dari ablagha sebanyak 4 kali, dan dalam bentuk mashdar {balagh), diulang sebanyak 14 kali. Menurut pakar bahasa al-Ashfahani, kata tabligh menunjuk pada kegiatan menyampaikan kebenaran (agama) secara lisan. Tabligh atau balagh memiliki akar kata yang sama dengan balaghah atau baligh yang berarti kata-kata yang sangat indah (sastra). Ini mengandung pengertian bahwa tabligh merupakan dakwah oral atau dakwah dengan kata-kata.
Menurut Quthub, tabligh berarti menyampaikan dan menyeru manusia kepada kebenaran agama, terutama kebenaran aqidah tauhid. Bagi para nabi dan rasul Allah, keharusan tablig ini, menurut Quthub, dikaitkan dengan dua kepentingan. Pertama, tabligh dilakukan untuk memberi informasi kepada manusia tentang adanya kebenaran dari Allah swt. Lalu, mereka diharap-kan menerima dan beriman kepada kebenaran yang dibawa para nabi dan rasul Allah swt itu agar mereka terbebas dari adzab Allah swt.
Kedua, tabligh dilakukan sebagai argumen (hujjah) Allah atas manusia. Dengan tablig, berarti kebenaran telah disampaikan oleh Allah swt kepada manusia melalui nabi dan rasul-Nya, sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak mengetahui kebenaran itu. Atas dasar itu, Allah swt berhak untuk memberi upah atau memberi siksa kepada orang yang menerima atau menolak kebenaran tersebut. Inilah menurut Quthub, makna tabligh sebagai argument Tuhan (hujjati) atas umat manusia.
Keharusan tablig seperti tersebut di atas terbaca dengan jelas, misalnya, dalam ayat ini:






"HaiRasul, sampaikanlah apayang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. " (Q.S. al-Ma'idah: 67).
Pembicaraan (khithab) dalam ayat ini, menurut Quthub, ditujukan kepada Nabi Muhammad saw dalam hubungannya dengan Ahli Kitab. Dalam ayat ini, Allah swt menyuruh Nabi agar melaksanakan tabligh dengan sebaik-baiknya. Dalam melakukan tablig, Nabi saw diperintahkan agar memperhatikan dua prinsip yang berkaitan dengan materi tabligh.
Prinsip pertama, bahwa kebenaran yang disajikan melalui tablig harus sempurna dan utuh, tidak sepotong-sepotong (prinsip kamilah). Prinsip kedua, bahwa kebenaran yang disampaikan melalui tabligh, terutama menyangkut aqidah, harus tegas dan jelas dalam arti distingtif, yaitu bahwa aqidah Islam itu harus dibedakan secara jelas dengan berbagai kepercayaan lain yang sesat dan menyimpang (prinsip fashilah). Dalam masalah ini, tidak dibenarkan adanya basa-basi yang dapat mengurangi distinksi aqidah Islam dengan kepercayaan lain yang sesat.
Di balik perintah tabligh dengan tegas dan jelas itu, menurut Quthub, justru terkandung makna atau hikmah. Di antaranya, dengan tabligh yang jelas dan tegas itu, kesesatan mereka (mad'u) yang selama ini tersembunyi atau disembunyikan akan terungkap. Dengan cara demikian, dapat pula diketahui kekufuran dan reaksi jahat mereka sehingga mereka layak mendapat hukuman dan balasan yang setimpal.
Bagi Quthub, tablig tidak cukup dilakukan hanya dengan lisan (bi al-lisdn) saja sebagaimana maknanya yang semula. Tabligh, sebagai usaha memperkenalkan gagasan dan konsep Islam (al-tashawwur al-Isldmi) kepada umat manusia, menurut Quthub, harus pula dilakukan dengan keteladanan (qudwat hasanah) dan dengan perbuatan nyata (bi al-'amat), sehingga Islam sebagai sitem hidup mudah dimengerti dan dipahami. Tabligh, dengan begitu, tidak bersifat retorik semata, tetapi juga bersifat aplikatif dan implementatif dari kebenaran Islam.
Dalam perspektif ini, para penyeru kebenaran itu (mubal-lighiri) haruslah orang-orang yang mula-mula memperlihatkan kebenaran itu dalam diri mereka sendiri. Dalam bahasa Quthub, mereka harus menjadi terjemah hidup yang kasat mata (tarjamat hayat waqi'ah) dari kebenaran yang disampaikan. Bahkan tabligh harus pula dilakukan (dilanjutkan) dengan perang suci (bi al-jihad) bila mendapat hambatan dan gangguan yang menghalang-halangi jalan dakwah.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa proses dakwah dalam pandangan Quthub, tidak boleh dan sama sekali tidak boleh berhenti pada proses tabligh dalam pengertiannya yang sempit. Quthub mengkritik keras pendapat yang menyatakaan dakwah identik dengan tabligh, atau dakwah hanyalah sekadar tabligh. Seperti umum diketahui, menurut pendapat ini, bila seorang telah melakukan tabligh, maka ia dipandang telah melaksanakan dakwah.
Jadi, tabligh dalam perspektif dakwah pergerakan, sebagai-mana digagas Sayyid Quthub, dipandang dan ditempatkan pada tahap awal, bukan akhir dari proses panjang kegiatan dakwah. Disamping tabligh, dakwah sebagai ikhtiar mewujudkan sistem Islam dalam semua segi kehidupan manusia, memiliki tugas dan fungsi lain, yaitu amar ma'ruf dan nahi munkar, serta jihad di jalan Allah—dari tabligh ke amar ma'rufdan nahi munkar.

01 Mei 2009

kode etik dakwah

kode etik dakwah

BAB I

PENDAHULUAN


Latar belakang

Adalah suatu fakta bahwa dakwah merupakan lapangan yang sangat penting baik dilihat dari pandangan agama maupun dari segi pertumbuhan bangsa yang sedang membangun. Makin banyak masyarakat membicarakan pembangunan makin terasa sekali bagaimana ketergantungannya pada manusia, faktor insan yang amat menentukan, apakah akan berhasil atau tidak. Sekian baik rencana dan cukup matang pengolahannya namun bergantung pula pada manusia yang akan melaksanakannya sedang manusia itu adalah unsur mutlak yang tidak dapat dinilai dari sekedar ratio dan tenaga saja tetapi juga dari segi rohani dan dhamirnya juga.

Dalam hal ini Agama islam memberikan sumbangan yang amat berharga karena mengandung ajaran-ajaran yang sangat diperlukan oleh bangsa yamg sedang membangun, islam cukup mempunyai manhaj untuk membangun manusia yang akan melaksanakan pembangunan itu melalui keteladanan seorang rasul Muhammad saw.

Berikut ini kami akan menguraikan sedikit tentang apakah yang telah rasul lakukan sehingga dunia begitu kagum dengan keberhasilannya merubah umat dari tempat yang gelap menuju kepada masa yang penuh dengan kemajuan-kemajuan.Insya Allah.







BAB II

Kode etik dakwah

Karena dakwah merupakan upaya untuk mempengaruhi orang lain, maka agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan baik bagi da’i sendiri maupun pihak yang didakwahi, dakwah nabi saw mengenal adanya aturan-aturan permainan yang dikenal dengan etika dakwah atau kode etik dakwah. Sebenarnya secara umum etika dakwah adalah etika islam itu sendiri, dimana seorang da’i sebagai seorang muslim dituntut untuk memiliki etika-etika yang terpuji dan menjauhkan diri dari prilaku yang tercela. Namun secara khusus dalam dakwah terdapat etika sendiri seperti dicontohkan nabi saw berikut ini:
1.Tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan

Dalam menjalankan dakwah Rasulullah saw tidak pernah memisahkan antaera apa yang beliau katakana dengan apa yang beliau kerjakan. Artinya apa yang beliau perintahkan beliau mengerjakannya, dan apa yang beliau larang beliau meninggalkannya. Misalnya dalam hal perintah beliau untukn shalat, beliau bersabda shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.
Dengan demikian para shahabat tidak merasa kesulitan dalam melaksanakan perintah nabi saw karena mereka telah melihat pergaan praktis dari perintah yang beliau ucapkan. Misalnya hal yang berkaitan dengan masalah kewanitaan, beliau tidak mengerjakannya dan sebagai gantinya biasanya salah seorang istri beliau memberikan contoh.
Misalnya ketika beliau kedatangan seorang wanita anshar yang bertanya tentang cara membersihkan bekas haid. Beliau kemudian mengatakan” ambillah kain yang empuk dan berilah wewangian. Kemudian tekan-tekanlah kain itu” namun nampaknya wanita belum paham dengan jawaban nabi tadi. Sampai ia menanyakan kembali berkali-kali . akhirnya aisyah menerangkan secara rinci dan jelas bagaiman cara membersihkan bekas-bekas darah haid itu.
Etika dakwah seperti ini merupakan suatu keharusan bagi para da’I. tanpa hal itu sulit rasanya dakwah mereka dapat berhasil. Allah sendiri mengecam orang-orang yang hanya pandai berbicara tetapi tidak pernah melakukannya.







Hai orang-orang yang beriman mengapa kalian mengatakan hal-hal yang kalian tidak melakukannya? Amat besar murka di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan ( al-shaf 2-3 )

2.Tidak melakukan toleransi agama
Toleransi memang dianjurkan oleh islam tetapi dalam batas-batas tertentu dan tidak menyangkut masalah agama atau aqidah. Dalam hal ini islam memberikan garis tegas tidak bertoleransi, kompromi dan sebagainya .
Ketika nabi masih tinggal di mekkah orang-orang musyrikin mencoba mengajak beliau untuk melakukan kompromi agama, kata mereka “wahai Muhammad ikutilah agama kami maka kamipun akan mengikuti kamu, kamu menyembah tuhan-tuhan kami selama satu tahun nanti kami akan menyembah tuhan kamu selama satu tahun juga”.
Mendengar ajakan itu nabi berkata “saya mohon perlindungan Allah agar tidak mempersekutukanNYA dengan yang lain” kemudian turun surat alkafirun yang intinya orang islam tidak diperkenankan menyembah sesembahan orang-orang kafir

3.Tidak mencerca seembahan
Pada waktu nabi masih di mekkah orang musyrikin mengaatakan bahwa beliau dan para pengikutnya sering meghina dan mencerca berhala sesembahan mereka akhirnya secara emosional mereka mencerca Allah sesembahan nabi. lalu Allah menurunkan ayat yang berbunyi




dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan ( al-An’am )

4.Tidak melakukan diskriminasi
Dalam menjalankan tugas dakwah nabi tidak diperkenankan melakukan diskriminasi sosial antara orang yang didakwahi beliau tidak diperkenankan lebih mementingkan orang-orang kelas elite saja sementara orang kelas bawah dinomorduakan. Berikut ini adalah contoh dimana nabi dikritik oleh Allah ketika beliau kurang memperhatikan orang yang dari kelas bawah yang bernama Ummi Maktum ketika nabi sedang menerima tamu yang terdiri dari para pembesar quraisy, maka Allah menegur beliau dengan menurunklan surat abasa 1-2




Dia Muhammad bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya

5.Tidak memungut imbalan
Suatu hal yang sangat penting dalam dakwah saw maupun nabi-nabi sebelumnya beliau tidak pernah memungut imbalan dari pihak-pihak yang didakwahi beliau hanya mengharapkan imbalan dari Allah saja, sikap beliau ini berdasarkan perintah Allah sebagai berikut





Katakanlah upah apapun yang aku pinta kepadamu maka hal itu untuk kamu karena aku tidak minta upah apapun kepadamu upahku hanya dari Allah Dia maha mengetahui segala sesuatu (as- Saba 47)

6.Tidak mengawani pelaku maksiat
dalam menjalankan dakwah ternyata Nabi saw tidak pernah berkawan, apalgi berkolusi dengan para pelaku maksiat. Hal ini bukan karena pada masa Nabi tidak ada orang yag berbuat maksiat, melainkan seperti itulah etika dakwah. Pada masa nabi ada orang yang berbuat maksiat misalnya ketika seorang shabat bernama Martsad bin abu Martsad hendak menikahi seorang wanita bernama Anaq dan wanita ii diketahui sebagai pezina, Nabi saw melarang martsad menikahi wanita tersebut.
Berkawan dengan pelaku maksiat akan bersdampak serius, karena pelaku maksiat tadi akan beranggapan bahwa perbuatannya itu direstui o;eh da’i yang menikahinya. Ini tentu saja selama oelaku maksiat tadi masih tetap berprofesi dengan kemaksiatannya, tetapi apabila ia sudah meninggalkannya kemudian bertaubat tentu masalahnya akan lain.
Nabi muahammad saw mengatakan bahwa para ulama atau da’i yng bersahabat dengan para pelaku maksiat akan dilaknat oleh Allah swt sebagaimana yang pernah terjadi pada bani israil laknatullah ‘alihim. Beliau mengatakan ini dalam hal menafsiri firman Allah surat Al-maidah 78-79 sebagai berikut:













Telah dilaknati oleh Allah orang-orang kafir dari bani israil dengan lisan Daud dan Isa bin Maryam. Hal itu karena mereka durhaka dan selalu malampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang perbuatan mungkar yang mereka lakukan itu.



7.Tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui

Seorang da’i adalah penyampai ajaran islam sementara ajaran itu berisi hal-hal tentang halal haram dan sebagainya. Da’i yang menyampaikan suatu hukum sementara ia tidak mengetahui hukum itu pastilah ia akan menyesatkan orang lain. Ia lebih baik mengatakan tidak tahu atau wallahu ‘alam apabila ia tidak tahu jawaban suatu masalah. Ia juga tidak boleh asal menjawab dan hanya menurut seleranya sendiri, karena masalah yang ditanyakan pada da’i tentulah masalah keagamaan yang harus ada dalilnya baik dari Al-quran atau hadits
Dalam hal ini Allah menegaskan:







Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semua itu akan diminta pertanggungjawabannya ( Al- isra 36 )

BAB III
Penutup

konsep surga dan neraka

BAB II
PEMBAHASAN

SURGA DAN NERAKA
Sebagaimana telah kita maklumi bahwasanya yang disebut surga dan neraka itu adalah tempat abadi yang disediakan bagi manusia sebagai pembalasan yang layak bagi amal perbuatannya di dunia. Surga sebagai tempat kenikmatan dan kebahagiaan yang di sediakan bagi orang – orang yang saleh, sedang neraka adalah tempat siksaan bagi orang – orang yang durhaka. Di dalam Al-Qur’an ungkapan tentang surga dan neraka dinyatakan sebagai imbalan dan ganjaran atas apa yang telah dilakukan oleh manusia. Orang – orang yang menaati segala perintah Allah denga melakukan kebajikan akan masuk kedalam surga. Sedangkan mereka yang mendurhakai Allah dan melakukan perbuatan – perbuatan yang dilarang oleh Allah akan masuk kedalam neraka.

1. pengertian surga
Di dalam bahasa Arab surga disebut dengan al – jannah atau al-hadiqah zatusy syajar (kebun atau taman yang terdiri dari berbagai macam pepohonan). Maka surga dipahami dengan berbagai macam kenikmatan dan kelezatan yang luar biasa.

Diantara para ulama’ membagi surga dalam 3 bagian :
1. Jannatul Ikhtisas
2. Jannatul Mirats
3. Jannatul A’mal

Jannatul Ikhtisas adalah surga yang disediakan bagi anak – anak kecil yang meninggal sebelum dikenakan kewajiban. Yakni meninggal dibawah umur 6 tahun. Juga Allah akan menempatkan siapa saja yang di kehendaki dalam surga Ikhtisas ini dan orang – orang yang hilang akalnya. Yaitu orang yang baik kelakuannya ketika masih normal kemudian menderika sakit ingatan sampai meninggal..

Adapun Jannatul Mirats ialah tempat di surga yang mestinya disediakan bagi orang – orang kafir kalau seandainya mereka beriman. Jelasnya, oleh karena tempat – tempat yang disediakan itu tidak jadi diisi oleh orng – orang tak beriman, maka tempat –tempat tadi dibagikan kepada ahli surga, sebagai pembagian tambahan (warisan). Setelah tempat – tempat yang telah di tentukan sendiri bagi mereka masing – masing.

Kemudian Jannatul A’mal ialah surga yang disediakan bagi orang – orang mukmin berdasarkan amal – amalnya. Surga inilah yang bagiannya tidak sama, bahkan menurut amalnya sendiri – sendiri.

Orang – orang yang masuk surga disebut dengan Ahl al – jannah (ahli surga). Mereka memperoleh surga surga disebabkan selalu menegakkan shalat dengan baik, mengakui bahwa didalam harta yang dimiliki ada bagian yang diperuntukkan bagi peminta – minta dan fakir miskin, yang meyakini bahwa hari kiamat benar – benar terjadi, yang benar – benar takut akan hukuman Tuhan, yang menjaga kehormatannya, yang memelihara kepercayaan serta memegang janji yang mereka ucapkan dan yang memberikan kesaksian yang benar.

Di dalam surga tidak ada lagi permusuhan, tidak ada dendam kesumat. Para ahli surga hidup rukun dan damai, aman sejahtera sepanjang masa, tidak ada usia tua dan muda. Usia para penghuni surga sebaya, tidak pernah menjadi tua, semua dalam keadaan sehat tidak pernah dihinggapi penyakit,. Seluruhnya merupakan balasan dari kebajikan yang telah dilaksanakan di dunia.
Di dalam Al-Qur’an ditemukan bermacam – macam nama bagi surga. Nama – nama itu adalah :

1. Surga Fidaus, disebut dalam surat al-Kahfi ayat 107-108

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا. خَالِد ِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah daripadanya.

2. Surga ‘Adnin, disebut dalam surat al-Kahfi ayat 30-31 :



إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا. أُولَئِكَ لَهُمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَيَلْبَسُونَ ثِيَابًا خُضْرًا مِنْ سُنْدُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ مُتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الْأَرَائِكِ نِعْمَ الثَّوَابُ وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقًا.

Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan (nya) dengan baik. Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga `Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat-istirahat yang indah;

3. Surga Na’im, disebut dalam surat al-Luqman ayat 8-9 :

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتُ النَّعِيمِ. خَالِدِينَ فِيهَا وَعْدَ اللَّهِ حَقًّا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, bagi mereka surga-surga yang penuh keni`matan, Kekal mereka di dalamnya; sebagai janji Allah yang benar. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

4. Surga Ma’wa, disebut dalam surat al-Sajadah ayat 19 :

أَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ جَنَّاتُ الْمَأْوَى نُزُلًا بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, maka bagi mereka surga-surga tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang telah mereka kerjakan

5. Surga Darussalam, disebut dalam surat Yunus ayat 25 :

وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ.

Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).

6. Surga Darul Muqamah, disebut dlam surat Fathir ayat 34-35:

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ. الَّذِي أَحَلَّنَا دَارَ الْمُقَامَةِ مِنْ فَضْلِهِ لَا يَمَسُّنَا فِيهَا نَصَبٌ وَلَا يَمَسُّنَا فِيهَا لُغُوبٌ.

Dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu".

7. Surga al-Maqamul Amin, disebut dalam surat al-Dukhan ayat 51 :
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي مَقَامٍ أَمِينٍ.

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman,



2. Pengertian Neraka
Adapun neraka desebut dengan al-nar (api yang menyala). Oleh sebab itu neraka dipahami sebagai tempat yang berisi berbagai macam azab dan siksaan serta balasan bagi orang – orang yang berbuat dosa atau kesalahan. Oleh sebab itu neraka disebut juga dengan mautin al- azab (tempat untuk berlakunya siksaan).
Orang yang masuk kedalam neraka disebut dengan Ahl al-Nar (Ahli Neraka). Mereka adalah yang memiliki sifat –sifat tidak baik seperti kekufuran dan orang – orang yang melakukan kekufuran disebut kafir. Di samping kufur, sifat – sifat lain yang mengantarkan orang masuk ke dalam neraka adalah takzib (mendustakan Tuhan) dsb. Siksaan di neraka dilaksanakan setelah manusia melalui perhitungan mempergunakan mizan (timbangan) terhadap amal masing – masing. Hal ini dilakukan setelah hari kiamat, manusia dibangkitkan dari kubur untuk dihitung semua amalnya, kemudian diketahui siapa yang berhak masuk neraka dengan berbagai macam siksaannya.
Lamanya seseorang berada dalam neraka berbeda – beda. Ada yang hanya sebentar saja, yakni orang mukmin yang melakukan dosa dan setelah dosanya dibakar dalam neraka kemudian dia dimasukkan ke dalam surga. Dan ada pula yang kekal di dalam neraka, yakni orang – orang kafir dan orang – orang musyrik yang mendustakan agama.
Adapun nama – nama neraka yang disebut di dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut :

1. Neraka Jahannam, disebut dalam surat At-Taubah ayat 63 :

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ.

Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahannamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar.


2. Neraka Jahim, disebut dalam surat al-Dukhan ayat 56 :

لَا يَذُوقُونَ فِيهَا الْمَوْتَ إِلَّا الْمَوْتَةَ الْأُولَى وَوَقَاهُمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ.

mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia. Dan Allah memelihara mereka dari azab neraka,

3. Neraka Hawiyah, disebut dalam surat al-Qari’ah ayat 8-11 :

وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ. فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ. نَارٌ حَامِيَةٌ.

Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan) nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.


4. Neraka Weil, disebut dalam surat al-Mutaffifin ayat 1-3 :


وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ. الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ. وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ.

Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.


5. Neraka Ladza, disebut dalam surat al-Ma’arij ayat 15-18:

كَلَّا إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِلشَّوَى. تَدْعُوا مَنْ أَدْبَرَ وَتَوَلَّى. وَجَمَعَ فَأَوْعَى.

Sekali-kali tidak dapat. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak, Yang mengelupaskan kulit kepala, Yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama). Serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya.


6. Neraka Sa’ir, disebut dalam surat al-mulk ayat 5:

وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ.
Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.


7. Neraka saqar, disebut dalam surat al-Mudatsir ayat 36-30 :


سَأُصْلِيهِ سَقَرَ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا سَقَرُ. لَا تُبْقِي وَلَا تَذَرُ. لَوَّاحَةٌ لِلْبَشَرِ. عَلَيْهَا تِسْعَةَ عَشَرَ.

Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar. Tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. (Neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia. Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga).

8. Neraka al-Huthamah, disebut dalam surat al-Humazah ayat 4-9:



كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ. نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ. الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ. إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ. فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ.

sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.

Menurut ahli sunnah, surga dan neraka itu sejak sekarang ini ( dan sebelumnya) sudah tersedia, berdasarkan ayat – ayat antara lain :


وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ.
Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. (Q.S. Ali-imran 131)

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ.
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (Q.S. Ali- Imran :133)


Akan tetapi kaum Mu’tazilah tidak membenarkan bahwa surga dan neraka itu telah disediakan sejak sekarang ini, hanya saja dalam prinsipnya mereka mengakui bahwa surga dan neraka itu pasti ada, dan akan di ciptakan setelah saatnya nanti. Alasan mereka, karena saat ini belum di perlukan.

20 April 2009

filsafat moral ibn maskawaih

BAB I
Pendahuluan
filsafat Islam banyak diwarnai oleh karya-karya beberapa filosof yang mempunyai pandangan yang cemerlang. Sebut saja tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, diantaranya adalah al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Selain tokoh-tokoh tersebut, masih ada banyak nama-nama besar dalam filsafat Islam. Diantaranya adalah Ibnu Maskawih. Ibnu Maskawih terkenal dengan pemikiran tentang filsafat moral yang akan kita bahas dalam makalah ini
Membahas pemikiran seorang tokoh seperti Ibnu Maskawih akan menjadi menarik dan terus menarik sepanjang perkembangan zaman.
Makalah ini merupakan hasil kajian penulis setelah melalui beberapa kesulitan dalam mencari bahan makalah tentang pemikiran Ibnu Maskawih. Tentang Ibnu Maskawih, penulis akan membahas seputar filsafat moral yang memang menjadi tugas pemakalah saat ini.








BAB II
Pembahasan
1. Riwayat Hidup Maskawih
Maskawih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memuaskan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, disamping filsafat Yunani, sangat luas.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Maskawih atau Ibnu Maskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar ini juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan Adhud al Daulah dari Bani Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya.
Maskawih dilahirkan di Ray (Teheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkan berbeda-beda, MM Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth menyebutkan tahun 330 H. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedangkan wafatnya, para tokoh sepakat pada 9 shafar 421 H/16 Februari 1030 M. Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar Mu’izz al Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad di saat bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas.
Puncak prestasi bani Buwaih adalah pada masa ‘Adhud al Daulah (tahun 367 H - 372 H). Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan pada masa inilah Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud al Daulah. Juga pada masa ini Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.

2. Filsafat moral

Menurut Ibn Maskawaih, moral atau akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan. Sikap mental ini terbagi dua; ada yang berasal dari watak dan ada pula yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan yang begitu akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan.
Akhlak terpuji sebagai manifestasi dari watak tidak banyak dijumpai. Yang terbanyak dijumpai di kalangan manusia adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kurang terpuji (asyrar) karena watak. Karena itu kebiasaan atau latihan-latihan dan pendidikan dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat terpuji tersebut, sebaliknya juga akan membawa orang kepada sifat-sifat tercela.
Ibn Maskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Oleh Ibn Miskawaih ditegaskan kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui pendidikan. Dengan demikian, dijumpai di tengah masyarakat ada orang yang memiliki akhlak yang dekat kepada malaikat dan ada pula yang lebih dekat kepada hewan.
Pemikiran seperti ini sejalan dengan ajaran Islam. Al-Quran dan Hadis sendiri menyatakan secara gamblang bahwa kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal ini terlihat dari salah satu tujuan melakukan ibadah adalah untuk pembentukan watak yang pada giliran-nya akan memperbaiki tingkah laku masyarakat dan pribadi muslim. Bahkan, akhlak sering dijadikan ukuran sebagai keberhasilan seseorang dalam menga-malkan ajaran Islam yang dianutnya. Dalam hal ini, Ibn Maskawaih mengartikan kata al-Insan (manusia) berasal dari al-uns, berarti jinak. Pendapat ini berbeda dengan pendapat pada umumnya yang mengatakan bahwa kata al-insan berasal dari kata al-nisyan berarti pelupa. Memang ajaran-ajaran agama men-guatkan perasaan al-uns tersebut, seperti shalat berjama'ah lebih utama dari shalat yang dikerjakan secara sendirian, puasa sebagai upaya mengendalikan keinginan nafsu, dan demikian juga bentuk-bentuk ibadah lainnya.
Ibn Maskawaih berpendapat bahwa manusia merupakan micro cosmos yang di dalam dirinya terdapat persamaan-persamaan dengan apa yang terdapat pada macro cosmos. Panca indera yang dimiliki manusia, di samping mempu-nyai daya-daya yang khas, juga mempunyai indera bersama (his al-musytarak) yang berperan sebagai pengikat sesama indera. Ciri-ciri indera bersama ini ialah dapat menerima citra-citra inderawi secara serentak, tanpa zaman dan tanpa pembagian. Juga citra-citra itu tidak saling bercampur dan saling mendesak. Kemudian daya ini beralih ke tingkat daya khayal yang terletak di bagian depan otak. Dari daya khayal tersebut naik ke daya pikir sehingga dapat berhubungan dengan Akal Aktif untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi.
Adapun jiwa, menurut Ibn Maskawaih adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan mengetahui tentang ketahuan dan keaktivitasannya. Sebagai argu-men, Ibn Miskawaih memajukan bahwa jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan, seperti warna hitam dan putih, sedangkan jasad tidak dapat melakukan yang demikian. Bahkan menurut Ibn Miskawaih, kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat nanti hanya dialami oleh jiwa saja, karena kelezatan jasmani bukanlah kelezatan hakiki.
Keberadaan jiwa dimaksudkan oleh Ibn Maskawaih untuk membantah pendapat kaum materialisme yang tidak mengakui adanya roh bagi manusia. Namun, roh tidak dapat bermateri sekalipun ia bertempat pada mated, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Dengan demikian. jiwa dan materi adalah dua hal yang berbeda, dengan kata lain, jiwa pada dasarnya bukanlah materi. Imaterialitas jiwa itu menunjukkan ketidakmatian-nya, karena kematian adalah karakter dari yang materil. Untuk itu, Ibn Miskawaih mengajukan argumentasi:
a. Indera, setelah mempersepsi suatu rangsangan kuat, selama beberapa waktu, tidak lagi mampu mempersepsi rangsangan yang lebih lemah. Namun demikian, ini berbeda benar dengan aksi mental intuisi/kognisi.
b. Bilamana kita merenungkan suatu obyek yang musykil, kita berusaha keras untuk sepenuhnya menutup kedua belah mata kita terhadap obyek-obyek di sekitar kita, yang kita anggap sebagai sedemikian banyak halangan bagi aktivitas spiritual. Jika esensi jiwa adalah materi, maka agar aktivitasnya tak terhambat, jiwa tidak perlu lari dari dunia materi.
c. Mempersepsi rangsangan kuat memperlemah dan kadang-kadang merugikan indera. Di sisi lain, intelek berkembang menjadi kuat dengan mengetahui ide-ide dan faham-faham umum (general nations).
d. Kelemahan fisik yang disebabkan oleh umur yang tua tidak mempe-ngaruhi kekuatan mental.
e. Jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak mempu-nyai pertalian dengan data inderawi. Indera, misalnya, tidak mampu memahami bahwa dua hal yang bertentangan tidak dapat ada bersama.
f. Ada suatu kekuatan tertentu pada diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan se-mua pengetahuan. Prinsip penyatuan yang merenung-renungkan materi yang dibawa di hadapannya melalui saluran inderawi, dan yang menim-bang evidensi (bukti) masing-masing indera, inilah yang menentukan karakter keadaan-keadaan tandingan, maka dengan sendirinya jiwa itu harus berada di atas lingkungan materi.
Terkait dengan permasalah jiwa seperti yang diutarakan di atas, jiwa memiliki tiga daya, yaitu daya berpikir, daya keberanian, dan daya keinginan. Dari ketiga daya tersebut lahirlah masing-masing sifat kebajikan, yaitu hikmah, keberanian, dan kesederhanaan. Bila ketiga sifat kebajikan tersebut berjalan serasi, maka akan lahirlah sifat kebajikan keempat, yakni adil. Adapun lawan dari keempat sifat utama ini ialah bodoh, penakut, rakus, dan zalim. Lebih lanjut, ia membatasi tujuh jenis hikmah, yaitu tajam dalam berpikir, cekatan berpikir, jelas dalam pemahaman, kapasitas yang cukup, teliti melihat perbe-daan, kuat ingatan, dan mampu mengungkapkan. Selanjutnya ada sebelas sifat keberanian, yaitu murahhati, sabar, mulia, teguh, tenteram, agung, gagah, keras keinginan, ramah, bersemangat, belas kasih. Sedangkan jenis sifat kesederha-naan ada dua belas, yaitu malu, ramah, keadilan, damai, kendali diri, sabar, rela, tenang, saleh, tertib, jujur, dan merdeka.
Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian tentang akhlak adalah kebaikan (al-khair), kebahagiaan (al-sa'adah), dan keutamaan (al-fadhilah). Menurut Ibn Maskawaih, kebaikan adalah suatu keadaan di mana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan adakalanya umum, dan adakalanya khusus. Di atas semua kebaikan itu terdapat Kebaikan Mutlak yang identik dengan Wujud Tertinggi. Semua bentuk kebaikan secara bersama-sama berusaha mencapai Kebaikan Mutlak tersebut. Kebaikan Umum tadi adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Se¬dangkan Kebaikan Khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan dalam bentuk yang disebut terakhir inilah yang dinamakan kebaha¬giaan. Dengan demikian, antara kebaikan dan kebahagiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai identitas tertentu yang berlaku umum bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda bergantung pada orang-orang yang berusaha memperolehnya.
Pengertian kebahagiaan telah dibicarakan oleh pemikir-pemikir Yunani yang pokoknya terdapat dua versi, yaitu: Pandangan pertama yang diwakili oleh Plato, mengatakan bahwa hanya jiwalah yang dapat mengalami keba¬hagiaan. Karena itu, selama manusia masih hidup atau selama jiwa masih terkait dengan badan, maka selama itu pula tidak akan diperoleh kebahagiaan itu. Sedangkan pandangan kedua yang diwakili oleh Aristoteles, mengatakan bahwa kebahagiaan itu dapat dinikmati oleh manusia di sunia, kendatipun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja kebahagiaan iru berbeda menurut masing-masing orang. Seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya.
Ibn Maskawih tampil di antara dua pendapat yang tidak selaras itu secara kompromi. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan itu meliputi keduanya. Kebahagiaan itu ada dua tingkat. Pertama, ada manusia yang terikat dengan hal-hal yang bersifat benda dan mendapat kebahagiaan dengannya, namun ia tetap rindu akan kebahagiaan jiwa, lalu berusaha memperolehnya. Kedua, manusia yang melepaskan diri dari keterikatannya kepada benda dan memperoleh kebahagiaan lewat jiwa. Keba¬hagiaan yang bersifat benda tidak diengkarinya, tetapi dipandangnya sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Kebahagiaan yang bersifat benda menurut Ibn Miskawaih, mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Kebahagiaan jiwalah yang merupakan kebahagiaan yang paling sempurna, dan mampu mengantar manusia yang memilikinya ke derajat malaikat.
Tentang keutamaan (al-fadhilah) Ibn Maskawih berpendapat bahwa asas semua keutamaan adalah cinta kepada semua manusia (mahabbah al-insan li al-nas kaffah). Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Manusia tidak akan sampai kepada tingkat kesempurnaannya kecuali dengan memelihara jenisnya serta menunjukkan pengertiannya ter-hadap sesama jenisnya. Selanjutnya, ia berkata bahwa cinta tadi tidak akan tampak bekasnya kecuali jika manusia berada di tengah-tengah masyarakatnya dan saling berintegrasi di dalamnya. Sebab itu, seseorang yang memencilkan din dari masyarakat, belumlah dapat dinilai bahwa ia telah memiliki sifat terpuji atau tercela. Penilaian itu bam dapat diberikan hanya kepada seseorang yang telah berkecimpung di tengah masyarakatnya. Jadi, sikap uzlah dari masyarakat dapat dipandang sebagai sikap mementingkan diri sendiri. Bagaimana suatu masyarakat yang bobrok dapat berubah menjadi baik bila orang-orang ter-baiknya memencilkan diri tanpa mau memberikan pertolongan untuk perbaikan masyarakat tersebut. Dari sini, sifat uzlah dapat dipandang identik dengan sifat zalim dan bakhil. Karena itu, dapat dikatakan pandangan Ibn Miskawaih tentang akhlak adalah akhlak manusia dalam konteks masyarakat.
Penyakit moral, terutama yang telah dinyatakan tercela, dari segala hal yang menimpa jiwa dan yang menyebabkannya cemas, adalah rasa takut, terutama takut akan mati. Perasaan takut inilah yang menggerogoti pikiran orang-orang yang bodoh dan sombong yang tidak memahami sifat asasi kema-tian tetapi merasa yakin bahwa dengan perceraian tubuh mereka, mereka samasekali tidak akan hidup lagi. Pahal, kematian semata-mata hanyalah suatu proses lewat mana jiwa, setelah meninggalkan tubuh yang telah menjadi alat jiwa selama kariernya di dunia ini, beralih kepada tingkat kesucian dan keba¬hagiaan yang lain yang lebih tinggi. Sebagai suatu substansi yang sederhana, jiwa tidak dapat dipengaruhi oleh kerusakan atau disintegrasi, tetapi hanyalah oleh peralihan bentuk transformasi. Filsuf yang mengerti hakikat jiwa ini tidak lagi diserang rasa cemas yang timbul dari rasa takut mati dan takut pada penderitaan dunia. Sebenarnya filsuf sejati adalah seorang yang telah mencapai kondisi "rela mati", yang tidak akan diganggu oleh rasa sakit baik yang khayali maupun yang real. Kematian sukarela ini, yang berbeda dengan kematian fisik, mengandung pengertian menganggap hina akan tubuh dan membekukan emosi-emosi, yang telah dianjurkan oleh para filsuf, terutama Plato. Penyakit moral lain yang lebih menyedihkan yang menimpa jiwa dan yang paling baik diobati oleh filsafat adalah rasa sedih. Rasa sedih timbul dari kebodohan, baik kebodohan terhadap kesementaraan kondisi kehidupan kita, yakni ketidaktahuan tentang apa yang merupakan kebahagiaan kita yang sejati, maupun kesia-siaan untuk mencemaskan harta benda keduniawian yang men-jadi tanda kesengsaraan. Dengan diagnosa tentang kesedihan ini dan sifat-sifat esensialnya sebagai latar belakang.
Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibn Maskawih memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak. la menyebutkan bahwa masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani, dan ufuk manusiawi dimulai. Karena itu, anak-anak harus dididik akhlak mulia dengan menyesuaikan ren-cana-rencananya dengan urutan daya-daya yang ada pada anak-anak, yaitu daya keinginan, daya marah, daya berpikir. Dengan daya keinginan, anak-anak dididik dalam hal adab makan, minum, dan berpakaian, serta lainnya. Lalu sifat berani, kendali diri diterapkan untuk mengarahkan daya marah. Kemudian daya berpikir dilatih dengan menalar, sehingga akal pada akhirnya dapat menguasai segala tingkah laku.




BAB III
Kesimpulan

Dari tulisan diatas dapat disimpulkan bahwa menurut Ibn maskawih Moral adalah suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat sesuatu tanpa berpikir dan pertimbangan. sikap mental ini terbagi dua, ada yang berasal dari watak dan ada jg yang berasal dari kebiasaan dan latihan.
Ibn Maskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah, karena watak yang buruk dapat berubah menjadi baik bila dibiasakan dan dilatih begitu juga sebaliknya.
Adapun jiwa, menurut Ibn Maskawaih adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Keberadaan jiwa dimaksudkan oleh Ibn Maskawaih untuk membantah pendapat kaum materialisme yang tidak mengakui adanya roh bagi manusia. Namun, roh tidak dapat bermateri sekalipun ia bertempat pada mated, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Dengan demikian. jiwa dan materi adalah dua hal yang berbeda, dengan kata lain, jiwa pada dasarnya bukanlah materi. Imaterialitas jiwa itu menunjukkan ketidakmatian-nya, karena kematian adalah karakter dari yang materil. Terkait permasalahan jiwa menurut Ibn Maskawih jiwa memiliki tiga daya, yaitu daya berpikir, daya keberanian, dan daya keinginan. Dari ketiga daya tersebut lahirlah masing-masing sifat kebajikan, yaitu hikmah, keberanian, dan kesederhanaan.







Daftar pustaka

Dr. Hasyimsyah Nasution, MA. Filsafat Islam. Gaya media pratama, Jakarta, 1999

Drs. H. A. Mustofa, Filsafat islam. Pustaka Setia, Bandung , 1997

26 Maret 2009

makalah agama hindu

A. Pengertian nama Hindu dan Hindu Dharma
agama hindu memiliki nama asli ”sanata dharma” yakni agama yang telah ada sebelum agama – agama lain.. ajaran dharma ini dikenal dengan nama indus culture (kebudayaan lembah sungai sindu/indus). Dalam pengucapan terdapat perubahan lafal ”S” ke ”H”, yakni shindu menjadi hindu. Sedangkan di indonesia dikenal dengan sebutan hindu dharma.
Nama hindu mengandung arti agama yang suci berkebudayaan tinggi. AG. Honig (1993) memberikan batasan tentang agama hindu sebagai suatu agama yang merupakan akulturasi dari kebudayaan, adat – istiadat (tradisi), filsafat dan ajaran agama yang ada sebelum hindu muncul. Gorinda Das (seorang filosof india) mengatakan bahwa agama hindu itu laksana bola salju yang menggelinding, dimana lama kelamaan makin membesar karena menyerap apa saja yang dilewatinya. Karena itu agama hindu bersifat fleksibel terhadap situasi dan kondisi.

B. Asal Agama Hindu dan Perkembangannya

1. Asal Agama Hindu
Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia

2. Perkembangan Agama Hindu
Govinda Das menjelaskan sejarah panjang agama hindu ke dalam 3 bagian besar yaitu :
a. zaman weda, yakni zaman sejak masuknya bangsa arya di punjab hingga timbulnya agama budha (500 SM) zaman ini dibagi 3 yaitu:
• Zaman Weda Purba, kurang lebih sejak 1500 SM kira – kira sampai 1000 SM. Dimana bangsa arya masih berada di punjab, daerah sungai indus atau shindu. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
• Zaman Brahmana, mulai tahun 1000 – 750 SM. Pada zaman ini imam – imam atau para brahmana telah menghasilkan kitab – kitab yang berbeda dengan sebelumnya. Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
• Zaman Upanisad, yakni pada tahun 750 – 500 SM. Pada zaman ini peradaban mulai berkembang, pusat peradaban berpindah dari punjab ke gangga. pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.
b. Zaman Agama Budha, sejak tahun 500 SM hingga kira – kira tahun 300 M. Pada zaman ini lahirlah agama Budha yang berlainan sekali dengan agama Weda (zaman sebelumnya). Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama "Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
c. Zaman Hindu, mulai tahun 300 M hingga sekarang. Agama Hindu zaman ini memperoleh pengaruh dari agama budha dan agama sebelumnya.

3. Masuknya Agama Hindu ke Indonesia
Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi dengan diketemukannya tujuh buah Yupa peninggalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman". Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa. Seorang penjelajah Cina bernama Fa Hien berpendapat bahwa pada permulaan abad ke lima telah menyaksikan masyarakat brahmana di pulau jawa. Dan tulisan – tulisan dalam bahasa sanskerta di dapat kira – kira pada zaman itu.
Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.
Mookerjee (ahli - India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.
Moens dan Bosch (ahli - Belanda).
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.
Pada perkembangan selanjutnya berdiri kerajaan hindu di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan atau sisa kerajaan tersebut antaralain :
a. Peninggalan kerajaan kutai di kalimantan, dengan raja mulawarman sekitar tahun 400 M. Yaitu yupa.
b. Peninggalan kerajaan tarumanegara di bogor jawa barat, abad ke 5 yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak.
c. Prasasti canggal di jawa tengah yang berbahasa sanskerta dan huruf palawa. Prasasti canggal dikeluarkan oleh raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 M).
d. Prasasti dinoyo di malang, jawa timur. Sekitar tahun 670 M. Berbahasa sanskerta dan berbahasa jawa kuno, isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh raja Dea Simba pada tahun 760 M.
e. Kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
f. Kerajaan majapahit, puncaknya pada tahun 1293 – 1528 M.
g. Candi – candi yang bertebaran di jawa, seperti candi prambanan dll.
h. Peninggalan – peninggalan agama hindu di bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.

4. Tujuan Agama Hindu
Tujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah "Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma", yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dam Moksa.
Dharma berarti kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Artha adalah benda-benda atau materi yang dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan hidup manusia. Kama artinya hawa nafsu, keinginan, juga berarti kesenangan sedangkan Moksa berarti kebahagiaan yang tertinggi atau pelepasan.
Di dalam memenuhi segala nafsu dan keinginan harus berdasarkan atas kebajikan dan kebenaran yang dapat menuntun setiap manusia di dalam mencapai kebahagiaan. Karena seringkali manusia menjadi celaka atau sengsara dalam memenuhi nafsu atau kamanya bila tidak berdasarkan atas dharma. Oleh karena itu dharma harus menjadi pengendali dalam memenuhi tuntunan kama atas artha, sebagaimana disyaratkan di dalam Weda (S.S.12) sebagai berikut:

Kamarthau Lipsmanastu
dharmam eweditaccaret,
na hi dhammadapetyarthah
kamo vapi kadacana.
Artinya:
Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka hendaknyalah dharma dilakukan terlebih dahulu. Tidak dapat disangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti. Tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma.
Jadi dharma mempunyai kedudukan yang paling penting dalam Catur Purusa Artha, karena dharmalah yang menuntun manusia untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Dengan jalan dharma pula manusia dapat mencapai Sorga.
C. Kitab Suci
Kitab suci agama Hindu dinamakan Weda (Veda). Secara etimologis dan pengertian semantik berari ”pengertian suci”. Dengan kata lain weda adalah pengetahuan dan kebijaksanaan suci, merupakan dokumen pertama dan tertua yang dimiliki oleh umat manusia. Veda merupakan wahyu atau sabda Tuhan Yang Maha Esa yang disebut sruti, artinya yang didengar (revealed teaching). Wahyu weda tersebut diterima oleh beberapa Maharsi dalam waktu yang berbeda – beda. Mereka penerima wahyu berjumlah tujuh Maharsi yang disebut Sapta Rsi. Maharsi Wyasa adalah yang paling banyak jasanya dalam mengkodifikasikan Weda, dibantu oleh 4 siswanya, yaitu :
1. Maharsi Paila, penghimpun Kitab Rg Veda Samhita
2. Maharsi Waisampayana, penghimpun Yajur Veda Samhita
3. Maharsi Jaimini, penghimpun Sama Veda Samhita
4. Maharsi Sumantu, penghimpun Atharwa Veda Samhita.
Bahasa yang dipergunakan dalam Weda disebut bahasa Sansekerta, Nama sansekerta dipopulerkan oleh maharsi Panini, yaitu seorang penulis Tata Bahasa Sensekerta yang berjudul Astadhyayi yang sampai kini masih menjadi buku pedoman pokok dalam mempelajari Sansekerta. Sebelum nama Sansekerta menjadi populer, maka bahasa yang dipergunakan dalam Weda dikenal dengan nama Daiwi Wak (bahasa/sabda Dewata). Tokoh yang merintis penggunaan tatabahasa Sansekerta ialah Rsi Panini. Kemudian dilanjutkan oleh Rsi Patanjali dengan karyanya adalah kitab Bhasa. Jejak Patanjali diikuti pula oleh Rsi Wararuci.
Kitab – kitab weda tersebut isinya mengandung mantera – mantera dan petunjuk – petunjuk bagi para pendeta untuk melakukan upacara – upacara, termasuk korban – korban (sesajen dll). Disamping kitab Weda dikenal juga kitab Ramayana, kitab Mahabarata dan kitab Bhagawadgita.
D. Pokok – pokok Ajaran dan Sistem Kepercayaan
1. Pokok Ajaran Hindu
Pokok Ajaran Hindu berkisar pada kerangka dasar Agama Hindu yang berjumlah tiga perkara yaitu :
a. Tatwa (filsafat)
b. Fusila (Sopan santun dan keadaban)
c. Upacara (perbuatan Agama)
2. Sistem Kepercayaan/Keimanan Agama Hindu
Sistem keimana Agama Hindu mengacu pada doktrin panca sradha (lima kepercayaan) yaitu :
a. Percaya adanya Sang Hyang Widi Wasa. Tuhan Yang Maha Kuasa, yang disebut juga Hyang Widhi (Brahman), adalah ia yang kuasa atas segala yang ada ini. Tidak ada apapun yang luput dari Kuasa-Nya. Ia sebagai pencipta, sebagai pemelihara dan Pelebur alam semesta dengan segala isinya. Tuhan adalah sumber dan awal serta akhir dan pertengahan dari segala yang ada. Didalam Weda (Bhagavad Gita), Tuhan (Hyang Widhi) bersabda mengenai hal ini, sebagai berikut:
Etadyonini bhutani
sarvani ty upadharaya
aham kristnasya jagatah
prabhavah pralayas tatha. (BG. VII.6)
Ketahuilah, bahwa semua insani mempunyai sumber-sumber kelahiran disini, Aku adalah asal mula alam semesta ini demikian pula kiamat-kelaknya nanti.
b. Percaya adanya Atman atau roh leluhur, bila atman meninggalkan badan maka makhluk itu akan mati.
Atman adalah percikan kecil dari Paramatman (Hyang Widhi/Brahman). Atman di dalam badan manusia disebut Jiwatman, yang menyebabkan manusia itu hidup. Atman dengan badan adalah laksana kusir dengan kereta. Kusir adalah Atman yang mengemudikan dan kreta adalah badan. Demikian Atman itu menghidupi sarva prani (mahluk) di alam semesta ini.
"Angusthamatrah Purusa ntaratman
Sada jananam hrdaya samnivish thah
Hrada mnisi manasbhikrto
yaetad, viduramrtaste bhavanti". (Upanisad)
Ia adalah jiwa yang paling sempurna (Purusa), Ia adalah yang paling kecil, yang menguasai pengetahuan, yang bersembunyi dalam hati dan pikiran, mereka yang mengetahuinya menjadi abadi.
c. Percaya adanya hukum karmaphala, buah dari perbuatan yang dapat dirasakan akibatnya. Segala gerak atau aktivitas yang dilakukan, disengaja atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah, disadari atau diluar kesadaran, kesemuanya itu disebut "Karma". Ditinjau dari segi ethimologinya, kata karma berasal dari kata "Kr" (bahasa sansekerta), yang artinya bergerak atau berbuat. Menurut Hukum Sebab Akibat, maka segala sebab pasti akan membuat akibat. Demikianlah sebab dari suatu gerak atau perbuatan akan menimbulkan akibat, buah, hasil atau pahala. Hukum sebab akibat inilah yang disebut dengan Hukum Karma Phala.
Di dalam Weda disebutkan "Karma phala ika palaing gawe hala ayu", artinya karma phala adalah akibat phala dari baik buruk suatu perbuatan atau karma (Clokantra 68).
d. Percaya adanya Samsara atau punarbhawa. Roh atau jiwatman takselamanya berada di dalam surga atau neraka, tetapi ia akan lahir kembali kedunia ( reinkarnasi). Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang-ulang, yang disebut juga penitisan kembali (reinkarnasi) atau Samsara. Di dalam Weda disebutkan bahwa "Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Samsara atau Punarbhawa ini terjadi oleh karena Jiwatman masih dipengaruhi oleh kenikmatan, dan kematian akan diikuti oleh kelahiran". Demikian pula disebutkan:

Sribhagavan uvacha,
bahuni me vyatitani,
janmani tava cha rjuna,
rani aham veda sarvani,
na tvam paramtapa (Bh. G. IV.5)
Sri Bhagawan (tuhan) bersabda, banyak kelahiran-Ku di masa lalu, demikian pula kelahiranmu arjuna semuanya ini Aku tahu, tetapi engkau sendiri tidak,. Parantapa.
e. Percaya adanya Moksa. Bila seseorang terlepas dari ikatan dunia maka ia akan mencapai moksa. Dalam Weda disebutkan: "Moksartham Jagadhitaya ca itu dharma", maka Moksa merupakan tujuan yang tertinggi. Moksa ialah kebebasan dari keterikatan benda-benda yang bersifat duniawi dan terlepasnya Atman danri pengaruh maya serta bersatu kembali dengan sumber-Nya, yaitu Brahman (Hyang Widhi) dan mencapai kebenaran tertinggi, mengalami kesadaran dan kebahagiaan yang kekal abadi yang disebut Sat Cit Ananda.
Orang yang telah mencapai moksa, tidak lahir lagi kedunia, karena tidak ada apapun yang mengikatnya. Ia telah bersatu dengan Paramatman. Bila air sungai telah menyatu dengan air laut, maka air ungai yang ada di laut itu akan kehilangan identitasnya. Tidak ada perbedaan lagi antara air sungai dengan air laut. Demikianlah juga halnya, Atman yang mencapai Moksa. Ia akan kembali dan menyatu dengan sumbernya yaitu Brahman.

Bahunam janmanam ante,
jnanavan mam prapadyate,
vasudevah sarvam iti,
sa mahatma sadurlabhah. (Bh. G. VII. 19)
Pada banyak akhir kelahiran manusia, orang yang berbudi (orang yang tidak lagi terikat oleh keduniawian) datang kepada-Ku, karena tahu Tuhan adalah sealanya; sungguh sukar dijumpai jiwa agung serupa itu.
E. Sistem Teologi (Konsep Ketuhanan)
Sesungguhnya, setiap agama yang ada dan berkembang dimuka bumi ini, bertitik tolak kepada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Banyak hal yang mendorong kita harus percaya terhadap adanya Tuhan itu dan berlaku secara alami. Adanya gejala atau kejadian dan keajaiban di dunia ini, menyebabkan kepercayaan itu semakin mantap. Semuanya itu pasti ada sebab- musababnya, dan muara yang terakhir adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhanlah yang mengatur semuanya ini, Tuhan pula sebagai penyebab pertama segala yang ada.
Karena agama itu adalah kepercayaan, maka dengan agama pula kita akan merasa mempunyai suatu pegangan iman yang menambatkan kita pada satu pegangan yang kokoh. Pegangan itu tiada lain adalah Tuhan, yang merupakan sumber dari semua yang ada dan yang terjadi. Kepada-Nya-lah kita memasrahkan diri, karena tidak ada tempat lain dari pada-Nya tempat kita kembali. Keimanan kepada Tuhan ini merupakan dasar kepercayaan agama Hindu.
Ajaran agama hindu mempercayai adanya Brahman yang tunggal yang disebut Sang Hyang Widhi Wasa. Disamping itu percaya adanya dewa – dewa. Dewa tersebut adalah bagian inetgral yang tidak terpisahkan, yakni sebagai sifat – sifat Sang Hyang Widhi Wasa. Dewa yang dimaksud trimurti yaitu:
1. Dewa Brahma adalah sifat pencipta dari Sang Hyang Widhi Wasa
2. Dewa Wisnu Adalah sifat pemelihara dari Sang Hyang Widhi Wasa
3. Dewa Sywa adalah sifat Perusak dari Sang Hyang Widhi Wasa

Ktiga dewa tersebut dilambangkan dengan AUM (Brahma = A. Wisnu = U dan Sywa = M). Pelafalan dari AUM kemudian menjadi OM, seperti OM Swastyastu atau OM Shanti, Shanti, Shanti.

F. Etika dalam agama Hindu
Dalam kitab Bhagavadgita disebutkan dua kecenderungan utama manusia, Yaitu:
1. Daiwi Sampat, yaitu kecenderungan kedewataan; kecenderungan mulia yang menyebabkan manusia berbudi luhur yang pada gilirannya mendapatkan kerahayuan.
2. Asuri Sampat, yaitu kecenderungan keraksaan; kecenderungan rendah yang menyebabkan manusia berbudi rendah yang pada gilirannya manusia itu jatuh ke jurang neraka.