20 April 2009

filsafat moral ibn maskawaih

BAB I
Pendahuluan
filsafat Islam banyak diwarnai oleh karya-karya beberapa filosof yang mempunyai pandangan yang cemerlang. Sebut saja tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, diantaranya adalah al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Selain tokoh-tokoh tersebut, masih ada banyak nama-nama besar dalam filsafat Islam. Diantaranya adalah Ibnu Maskawih. Ibnu Maskawih terkenal dengan pemikiran tentang filsafat moral yang akan kita bahas dalam makalah ini
Membahas pemikiran seorang tokoh seperti Ibnu Maskawih akan menjadi menarik dan terus menarik sepanjang perkembangan zaman.
Makalah ini merupakan hasil kajian penulis setelah melalui beberapa kesulitan dalam mencari bahan makalah tentang pemikiran Ibnu Maskawih. Tentang Ibnu Maskawih, penulis akan membahas seputar filsafat moral yang memang menjadi tugas pemakalah saat ini.








BAB II
Pembahasan
1. Riwayat Hidup Maskawih
Maskawih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memuaskan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, disamping filsafat Yunani, sangat luas.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Maskawih atau Ibnu Maskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar ini juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan Adhud al Daulah dari Bani Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya.
Maskawih dilahirkan di Ray (Teheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkan berbeda-beda, MM Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth menyebutkan tahun 330 H. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedangkan wafatnya, para tokoh sepakat pada 9 shafar 421 H/16 Februari 1030 M. Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar Mu’izz al Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad di saat bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas.
Puncak prestasi bani Buwaih adalah pada masa ‘Adhud al Daulah (tahun 367 H - 372 H). Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan pada masa inilah Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud al Daulah. Juga pada masa ini Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.

2. Filsafat moral

Menurut Ibn Maskawaih, moral atau akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan. Sikap mental ini terbagi dua; ada yang berasal dari watak dan ada pula yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan yang begitu akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan.
Akhlak terpuji sebagai manifestasi dari watak tidak banyak dijumpai. Yang terbanyak dijumpai di kalangan manusia adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kurang terpuji (asyrar) karena watak. Karena itu kebiasaan atau latihan-latihan dan pendidikan dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat terpuji tersebut, sebaliknya juga akan membawa orang kepada sifat-sifat tercela.
Ibn Maskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Oleh Ibn Miskawaih ditegaskan kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui pendidikan. Dengan demikian, dijumpai di tengah masyarakat ada orang yang memiliki akhlak yang dekat kepada malaikat dan ada pula yang lebih dekat kepada hewan.
Pemikiran seperti ini sejalan dengan ajaran Islam. Al-Quran dan Hadis sendiri menyatakan secara gamblang bahwa kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal ini terlihat dari salah satu tujuan melakukan ibadah adalah untuk pembentukan watak yang pada giliran-nya akan memperbaiki tingkah laku masyarakat dan pribadi muslim. Bahkan, akhlak sering dijadikan ukuran sebagai keberhasilan seseorang dalam menga-malkan ajaran Islam yang dianutnya. Dalam hal ini, Ibn Maskawaih mengartikan kata al-Insan (manusia) berasal dari al-uns, berarti jinak. Pendapat ini berbeda dengan pendapat pada umumnya yang mengatakan bahwa kata al-insan berasal dari kata al-nisyan berarti pelupa. Memang ajaran-ajaran agama men-guatkan perasaan al-uns tersebut, seperti shalat berjama'ah lebih utama dari shalat yang dikerjakan secara sendirian, puasa sebagai upaya mengendalikan keinginan nafsu, dan demikian juga bentuk-bentuk ibadah lainnya.
Ibn Maskawaih berpendapat bahwa manusia merupakan micro cosmos yang di dalam dirinya terdapat persamaan-persamaan dengan apa yang terdapat pada macro cosmos. Panca indera yang dimiliki manusia, di samping mempu-nyai daya-daya yang khas, juga mempunyai indera bersama (his al-musytarak) yang berperan sebagai pengikat sesama indera. Ciri-ciri indera bersama ini ialah dapat menerima citra-citra inderawi secara serentak, tanpa zaman dan tanpa pembagian. Juga citra-citra itu tidak saling bercampur dan saling mendesak. Kemudian daya ini beralih ke tingkat daya khayal yang terletak di bagian depan otak. Dari daya khayal tersebut naik ke daya pikir sehingga dapat berhubungan dengan Akal Aktif untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi.
Adapun jiwa, menurut Ibn Maskawaih adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan mengetahui tentang ketahuan dan keaktivitasannya. Sebagai argu-men, Ibn Miskawaih memajukan bahwa jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan, seperti warna hitam dan putih, sedangkan jasad tidak dapat melakukan yang demikian. Bahkan menurut Ibn Miskawaih, kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat nanti hanya dialami oleh jiwa saja, karena kelezatan jasmani bukanlah kelezatan hakiki.
Keberadaan jiwa dimaksudkan oleh Ibn Maskawaih untuk membantah pendapat kaum materialisme yang tidak mengakui adanya roh bagi manusia. Namun, roh tidak dapat bermateri sekalipun ia bertempat pada mated, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Dengan demikian. jiwa dan materi adalah dua hal yang berbeda, dengan kata lain, jiwa pada dasarnya bukanlah materi. Imaterialitas jiwa itu menunjukkan ketidakmatian-nya, karena kematian adalah karakter dari yang materil. Untuk itu, Ibn Miskawaih mengajukan argumentasi:
a. Indera, setelah mempersepsi suatu rangsangan kuat, selama beberapa waktu, tidak lagi mampu mempersepsi rangsangan yang lebih lemah. Namun demikian, ini berbeda benar dengan aksi mental intuisi/kognisi.
b. Bilamana kita merenungkan suatu obyek yang musykil, kita berusaha keras untuk sepenuhnya menutup kedua belah mata kita terhadap obyek-obyek di sekitar kita, yang kita anggap sebagai sedemikian banyak halangan bagi aktivitas spiritual. Jika esensi jiwa adalah materi, maka agar aktivitasnya tak terhambat, jiwa tidak perlu lari dari dunia materi.
c. Mempersepsi rangsangan kuat memperlemah dan kadang-kadang merugikan indera. Di sisi lain, intelek berkembang menjadi kuat dengan mengetahui ide-ide dan faham-faham umum (general nations).
d. Kelemahan fisik yang disebabkan oleh umur yang tua tidak mempe-ngaruhi kekuatan mental.
e. Jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak mempu-nyai pertalian dengan data inderawi. Indera, misalnya, tidak mampu memahami bahwa dua hal yang bertentangan tidak dapat ada bersama.
f. Ada suatu kekuatan tertentu pada diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan se-mua pengetahuan. Prinsip penyatuan yang merenung-renungkan materi yang dibawa di hadapannya melalui saluran inderawi, dan yang menim-bang evidensi (bukti) masing-masing indera, inilah yang menentukan karakter keadaan-keadaan tandingan, maka dengan sendirinya jiwa itu harus berada di atas lingkungan materi.
Terkait dengan permasalah jiwa seperti yang diutarakan di atas, jiwa memiliki tiga daya, yaitu daya berpikir, daya keberanian, dan daya keinginan. Dari ketiga daya tersebut lahirlah masing-masing sifat kebajikan, yaitu hikmah, keberanian, dan kesederhanaan. Bila ketiga sifat kebajikan tersebut berjalan serasi, maka akan lahirlah sifat kebajikan keempat, yakni adil. Adapun lawan dari keempat sifat utama ini ialah bodoh, penakut, rakus, dan zalim. Lebih lanjut, ia membatasi tujuh jenis hikmah, yaitu tajam dalam berpikir, cekatan berpikir, jelas dalam pemahaman, kapasitas yang cukup, teliti melihat perbe-daan, kuat ingatan, dan mampu mengungkapkan. Selanjutnya ada sebelas sifat keberanian, yaitu murahhati, sabar, mulia, teguh, tenteram, agung, gagah, keras keinginan, ramah, bersemangat, belas kasih. Sedangkan jenis sifat kesederha-naan ada dua belas, yaitu malu, ramah, keadilan, damai, kendali diri, sabar, rela, tenang, saleh, tertib, jujur, dan merdeka.
Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian tentang akhlak adalah kebaikan (al-khair), kebahagiaan (al-sa'adah), dan keutamaan (al-fadhilah). Menurut Ibn Maskawaih, kebaikan adalah suatu keadaan di mana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan adakalanya umum, dan adakalanya khusus. Di atas semua kebaikan itu terdapat Kebaikan Mutlak yang identik dengan Wujud Tertinggi. Semua bentuk kebaikan secara bersama-sama berusaha mencapai Kebaikan Mutlak tersebut. Kebaikan Umum tadi adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Se¬dangkan Kebaikan Khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan dalam bentuk yang disebut terakhir inilah yang dinamakan kebaha¬giaan. Dengan demikian, antara kebaikan dan kebahagiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai identitas tertentu yang berlaku umum bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda bergantung pada orang-orang yang berusaha memperolehnya.
Pengertian kebahagiaan telah dibicarakan oleh pemikir-pemikir Yunani yang pokoknya terdapat dua versi, yaitu: Pandangan pertama yang diwakili oleh Plato, mengatakan bahwa hanya jiwalah yang dapat mengalami keba¬hagiaan. Karena itu, selama manusia masih hidup atau selama jiwa masih terkait dengan badan, maka selama itu pula tidak akan diperoleh kebahagiaan itu. Sedangkan pandangan kedua yang diwakili oleh Aristoteles, mengatakan bahwa kebahagiaan itu dapat dinikmati oleh manusia di sunia, kendatipun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja kebahagiaan iru berbeda menurut masing-masing orang. Seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya.
Ibn Maskawih tampil di antara dua pendapat yang tidak selaras itu secara kompromi. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan itu meliputi keduanya. Kebahagiaan itu ada dua tingkat. Pertama, ada manusia yang terikat dengan hal-hal yang bersifat benda dan mendapat kebahagiaan dengannya, namun ia tetap rindu akan kebahagiaan jiwa, lalu berusaha memperolehnya. Kedua, manusia yang melepaskan diri dari keterikatannya kepada benda dan memperoleh kebahagiaan lewat jiwa. Keba¬hagiaan yang bersifat benda tidak diengkarinya, tetapi dipandangnya sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Kebahagiaan yang bersifat benda menurut Ibn Miskawaih, mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Kebahagiaan jiwalah yang merupakan kebahagiaan yang paling sempurna, dan mampu mengantar manusia yang memilikinya ke derajat malaikat.
Tentang keutamaan (al-fadhilah) Ibn Maskawih berpendapat bahwa asas semua keutamaan adalah cinta kepada semua manusia (mahabbah al-insan li al-nas kaffah). Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Manusia tidak akan sampai kepada tingkat kesempurnaannya kecuali dengan memelihara jenisnya serta menunjukkan pengertiannya ter-hadap sesama jenisnya. Selanjutnya, ia berkata bahwa cinta tadi tidak akan tampak bekasnya kecuali jika manusia berada di tengah-tengah masyarakatnya dan saling berintegrasi di dalamnya. Sebab itu, seseorang yang memencilkan din dari masyarakat, belumlah dapat dinilai bahwa ia telah memiliki sifat terpuji atau tercela. Penilaian itu bam dapat diberikan hanya kepada seseorang yang telah berkecimpung di tengah masyarakatnya. Jadi, sikap uzlah dari masyarakat dapat dipandang sebagai sikap mementingkan diri sendiri. Bagaimana suatu masyarakat yang bobrok dapat berubah menjadi baik bila orang-orang ter-baiknya memencilkan diri tanpa mau memberikan pertolongan untuk perbaikan masyarakat tersebut. Dari sini, sifat uzlah dapat dipandang identik dengan sifat zalim dan bakhil. Karena itu, dapat dikatakan pandangan Ibn Miskawaih tentang akhlak adalah akhlak manusia dalam konteks masyarakat.
Penyakit moral, terutama yang telah dinyatakan tercela, dari segala hal yang menimpa jiwa dan yang menyebabkannya cemas, adalah rasa takut, terutama takut akan mati. Perasaan takut inilah yang menggerogoti pikiran orang-orang yang bodoh dan sombong yang tidak memahami sifat asasi kema-tian tetapi merasa yakin bahwa dengan perceraian tubuh mereka, mereka samasekali tidak akan hidup lagi. Pahal, kematian semata-mata hanyalah suatu proses lewat mana jiwa, setelah meninggalkan tubuh yang telah menjadi alat jiwa selama kariernya di dunia ini, beralih kepada tingkat kesucian dan keba¬hagiaan yang lain yang lebih tinggi. Sebagai suatu substansi yang sederhana, jiwa tidak dapat dipengaruhi oleh kerusakan atau disintegrasi, tetapi hanyalah oleh peralihan bentuk transformasi. Filsuf yang mengerti hakikat jiwa ini tidak lagi diserang rasa cemas yang timbul dari rasa takut mati dan takut pada penderitaan dunia. Sebenarnya filsuf sejati adalah seorang yang telah mencapai kondisi "rela mati", yang tidak akan diganggu oleh rasa sakit baik yang khayali maupun yang real. Kematian sukarela ini, yang berbeda dengan kematian fisik, mengandung pengertian menganggap hina akan tubuh dan membekukan emosi-emosi, yang telah dianjurkan oleh para filsuf, terutama Plato. Penyakit moral lain yang lebih menyedihkan yang menimpa jiwa dan yang paling baik diobati oleh filsafat adalah rasa sedih. Rasa sedih timbul dari kebodohan, baik kebodohan terhadap kesementaraan kondisi kehidupan kita, yakni ketidaktahuan tentang apa yang merupakan kebahagiaan kita yang sejati, maupun kesia-siaan untuk mencemaskan harta benda keduniawian yang men-jadi tanda kesengsaraan. Dengan diagnosa tentang kesedihan ini dan sifat-sifat esensialnya sebagai latar belakang.
Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibn Maskawih memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak. la menyebutkan bahwa masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani, dan ufuk manusiawi dimulai. Karena itu, anak-anak harus dididik akhlak mulia dengan menyesuaikan ren-cana-rencananya dengan urutan daya-daya yang ada pada anak-anak, yaitu daya keinginan, daya marah, daya berpikir. Dengan daya keinginan, anak-anak dididik dalam hal adab makan, minum, dan berpakaian, serta lainnya. Lalu sifat berani, kendali diri diterapkan untuk mengarahkan daya marah. Kemudian daya berpikir dilatih dengan menalar, sehingga akal pada akhirnya dapat menguasai segala tingkah laku.




BAB III
Kesimpulan

Dari tulisan diatas dapat disimpulkan bahwa menurut Ibn maskawih Moral adalah suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat sesuatu tanpa berpikir dan pertimbangan. sikap mental ini terbagi dua, ada yang berasal dari watak dan ada jg yang berasal dari kebiasaan dan latihan.
Ibn Maskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah, karena watak yang buruk dapat berubah menjadi baik bila dibiasakan dan dilatih begitu juga sebaliknya.
Adapun jiwa, menurut Ibn Maskawaih adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Keberadaan jiwa dimaksudkan oleh Ibn Maskawaih untuk membantah pendapat kaum materialisme yang tidak mengakui adanya roh bagi manusia. Namun, roh tidak dapat bermateri sekalipun ia bertempat pada mated, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Dengan demikian. jiwa dan materi adalah dua hal yang berbeda, dengan kata lain, jiwa pada dasarnya bukanlah materi. Imaterialitas jiwa itu menunjukkan ketidakmatian-nya, karena kematian adalah karakter dari yang materil. Terkait permasalahan jiwa menurut Ibn Maskawih jiwa memiliki tiga daya, yaitu daya berpikir, daya keberanian, dan daya keinginan. Dari ketiga daya tersebut lahirlah masing-masing sifat kebajikan, yaitu hikmah, keberanian, dan kesederhanaan.







Daftar pustaka

Dr. Hasyimsyah Nasution, MA. Filsafat Islam. Gaya media pratama, Jakarta, 1999

Drs. H. A. Mustofa, Filsafat islam. Pustaka Setia, Bandung , 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar